Langsung ke konten utama

lomba visit banda aceh


Baru saja saya menonton film kisah cinta Hamid dan Zainab yang menggambarkan arti pengorbanan dan keikhlasan akan ketentuan Allah. Bukan tentang cinta yang akan saya bahas kali ini, melainkan tentang pengorbanan dan keikhlasan. Ntah kenapa saya malah mengingat keadaan negara Indonesia saat ini yang kini pemimpin-pemimpin dan orang terdepan mulai lupa akan arti sebuah pengorbanan dan keikhlasan untuk negeri tercinta.
Saat ini telah banyak anak-anak negeri yang berilmu pengetahuan tinggi, banyak pemimpin-pemimpin berkuasa. Namun, tak khayalnya Negara ini maju, malah sebaliknya semakin mundur. Apalagi mengingat semaraknya dan semangatnya orang-orang yang menambah kekayaan dengan uang Negara, semua itu menjadi kebiasaan di negeri kita. Ketika belum menjadi pejabat, mereka yang meminta dukungan itu mengumbar janji. Ketika telah menjadi pejabat, semua terbang di tiup angin. Mereka yang diangkat dari partai, tiba menjadi pejabat yang mereka lakukan adalah mengembangkan sayap partainya, berusaha mendapatkan tujuan partainya dan mencari koalisi untuk mendapat kursi partainya dipemilihan selanjutnya agar tetap berkuasa. Sedangkan amanah dari rakyat sudah terbang dibawa angin.
Betapa perih hati rakyat dikala para pejabat-pejabat itu menginginkan mobil yang lebih mewah dan kantor yang lebih besar, padahal di luar sana masih banyak rakyat yang tidak mempunyai makanan dan tempat tinggal. Berbeda dengan pemimpin-pemimpin masa dulu yang mencurahkan tenaga dan jiwanya untuk kemakmuran rakyat, pada masa kita malah sebaliknya rakyatlah yang harus “memakmurkan” pejabat.
Lebih miris lagi ketika kita mendengar berita dari dunia pendidikan di mana guru tidak mau mengajar karena gajinya kurang. Akibatnya, anak murid yang seharusnya mendapatkan ilmu hanya bermain di sekitar sekolah. Belum lagi sikap guru yang hanya ‘menitip’ buku untuk dicatat anak murid dan sang guru pergi ngopi atau duduk di dalam maupun di luar sekolah, padahal memberi catatan tidak cukup untuk anak murid memahami materi. Guru seharusnya menjadi fasilitator dalam belajar di sekolah. Mengapa hal ini bias terjadi? Ternyata keikhlasan dan pengorbanan tidak ada lagi di dalam hati masyarakat kita.
Bukan hanya dalam dunia politik dan pendidikan saja persoalan ini terjadi, namun hal ini juga menimpa penceramah-penceramah kita saat ini. Menolak tawaran ceramah jika tidak ada mendapat ‘salam saku.’ Atau yang mulai merembas lagi adalah mulai berterbarannya ustad-ustad entertainment yang haus popularitas. Kalau anda bertanya pada anak ABG, mereka akan menjawab, “tauk ah, gelap!”
Inilah yang menjadi salah satu persoalan Indonesia yang pada akhirnya membuat Indonesia tidak maju-maju. Di negeri ini sudah tidak banyak orang mengenal arti pengorbanan untuk negara, hanya segelintir saja dan selebihnya hanya ingin memanfaatnya negara saja untuk menghimpun kekayaan dan kehebatan dirinya seorang. Sebagian kita telah nyaman mengenakan pakaian keangguhan diri.
Saya jadi teringat akan perkataan kepala sekolah dalam novel Laskar Pelangi yang pastinya novel dan film ini sudah tidak asing lagi bagi masyarakat kita, “hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.” Sepertinya ungkapan ini masih sangat jauh dari realita negera kita.
Berkaca pada Sejarah
Mari kita mengingat kembali pada seorang perempuan yang di cinta Rasulullah saw. Dialah Khadijah binti Khuwailid yang begitu mulia hatinya hingga harta bendanya yang ia cari dengan susah payah ia berikan pada Islam sehingga saat itu termudahlah perjalanan dakwah Rasulullah saw.
Kita juga pasti ingat bagaimana perjuangan para pahlawan yang kini namanya diabadikan di mesium dan tempat bersejarah ataupun buku-buku. Mengapa mereka bisa dianggap pahlawan? Jawabnya hanya satu, mereka berkorban. Baik itu Soekarno, Hatta, Teuku Umar, Imam Bonjol, dan semua pahlawan di negeri kita ini, mereka semua berkorban hanya untuk negeri, menginvestasikan diri untuk negeri tercinta. Berharap kemakmuran negeri yang dinanti.
Berkorban ini sendiri bukanlah semata-mata hanya harta, tapi juga tenaga, dan nyawa yang dipertaruhkan. Timbul lagi pertanyaan, mengapa mereka mau melakukannya? Jawabannya tetap sama, karena mereka ingin berkorban. Bukan untuk propularitas bukan untuk harta, bukan pula untuk mendapaat gelar pahlawan, tapi karena itulah bentuk syukur dan kepuasan dari hidup. Bayangkan saja jika tak ada terbersit rasa peduli dan ingin berkorban pada hati para pahlawan, pastilah sampai saat ini kita masih belum merdeka dan menikmati hidup. Peradaban kita pasti masih begitu rendah. Nah, mari kita bandingkan pada keadaan kita saat ini. Adakah di diri kita masih punya sifat kepahlawanan itu?
Gambaran itu membuka pikiran kita bahwa pantas saja saat ini Indonesia tidak berkembang-kembang karena sifat itu telah luntur di hati masyarakat sehingga timbullah kebiasaan dan mulai mendarah dagingnya sifat-sifat jahil bernama korupsi, kolusi, dan nepotisme itu, muncullah sifat ingin terus menjadi yang terdepan tanpa melihat kanan-kiri dan belakang yang masih membutuhkan pengorbanan kita.
Sifat Nasionalisme
Begitu banyak yang dapat kita petik dari sejarah yang sebenarnya mampu menumbuhkan nasionalisme dalam diri. Sifat rela berkorban itu harus dipupuk secara bersama-sama dan menjadikannya cita-cita untuk membangun negara. Menurut Dr. Hertz dalam bukunya yang berjudul Nationality in History and Politics, unsur nasionalisme, diantaranya hasrat untuk mencapai kesatuan dan hasrat untuk mencapai kehormatan bangsa. Dua unsur inilah yang harus kita pegang dan kita pupuk dengan pengorbanan yang mulia untuk negeri, bukan mengorbankan negeri untuk mendapat kehebatan sendiri.
Bukan karena materi, bukan karena partai, bukan karena popularitas, Indonesia ini dapat bersatu, tapi karena niat dan nasionalisme untuk membangkitkan negara dan memberikan yang terbaik bagi negara. Jauhkan diri dari sifat sikut-menyikut dan saling menjatuhkan, bukan satu dua orang yang maju, tapi kita semua. Kita semua dengan sejuta pemikiran dan kelebihan yang dimiliki pasti mampu membangun negeri Indonesia yang bermartabat. Jika kita bersatu dalam komitmen di jalan kebenaran dengan sifat yang menumbuhkan rasa pengorbanan dan keikhlasan yang merupakan tanda cinta tanah air, kita dapat merubah peradaban Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
Untuk itu, mari kita membangun kemitraan yang solid yang memberi tanpa harap kembali, berkorban tanpa ingkar, menjaga amanah yang diberi, dan tunduk pada kebaikan dari Illahi. Seperti kata Aa Gym, “mulailah dari yang kecil, mulai dari saat ini, dan mulai pada diri sendiri.”
Dengan berkorban, kita akan belajar ikhlas. Dengan ikhlas, kita belajar memaknai rizki. Rizki yang tidak akan pernah tertukar oleh manusia, waktu, ataupun tempat manapun. Dan jika kita sudah belajar memaknai rizki yang tak pernah habis itu, kita akan mendapat kebahagiaan yang tak terkira.

Banda Aceh, 7 Maret 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk ke Bendungan Brayen, Aceh Besar

Nita Juniarti AcehNews.net –  Bendungan Brayen merupakan hasil dari ekspresi keindahan alam dengan perbuatan manusia. Bendungan ini berada di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh jaraknya sekitar 30 Kilomoter  dari Banda Aceh. Tidak sulit mencarinya, melewati jalur pantai Barat-Selatan, nanti Anda akan menemukan papan bertuliskan  “Wisata Brayen”. Kemudian dari arah pintu masuk tersebut Anda bisa terus berjalan ke lokasi wisata, lebih kurang 100 meter. Ada yang view yang indah saat Anda melintas di jalan masuk tersebut. Jalan lintasan masyarakat kampung yang masih alami ini akan memberi  landscape , sawah tadah hujan dan masyarakat yang berlalu lalang. Jika sedang musim hujan maka harus ekstra hati-hati saat melalui jalan ini. Nita Juniarti-Teman KPM PAR MAheng Biasanya tempat ini dikunjungi oleh keluarga, kaulah muda di hari libur khususnya pukul 15.00 yang paling ramai dikunjungi. Tiket masuknya hanya Rp2.000 per orang dan parkir dengan harga yang sama. Air s

Prasangka

  Meski sudah belajar banyak, meski sudah tau tips ini itu, sungguh tidak mudah bagi seorang perempuan mengatasi perasaannya sendiri, rasanya teramat mustahil baginya setiap kali ia mengalami guncangan perasaan. Jun dan Wi jarang bertengkar, selama LDRan, Dunia yang berada dalam resesi membuat mereka semakin kalut dengan pertahanan masing-masing. Rencana pernikahan harus ditunda, keadaan tidak memungkinkan. Biasanya salah satu dari mereka mengalah agar tidak terjadi pertengkaran hebat, tapi tidak malam itu, mereka sama-sama jenuh.  "Aku capek sekali, berusaha sebisa mungkin  untuk niat baik. Tapi barangkali kau memahaminya berbeda" teriak Jun diseberang sana  "Kalo kau capek : berhentilah" Wi balas berteriak "Cari uang untuk bisa melamarmu siang dan malam, yakinkan Umi, mama, kamu, dan bahkan meyakinkan dirimu juga aku, semuanya harus kulakukan sendiri. Aneh, bukannya kau yang terdengar ingin berhenti" "Dan aku ga pernah ada bersama kau?" "J

Cerita Film : Jembatan Pensil

Film Jembatan pensil. Latar belakang dari film ini adalah suasana di perkampungan suku Muna, Sulawesi Tenggara. Menariknya, film yang mengangkat kisah Ondeng, si anak berkebutuhan khusus tapi selalu setia pada teman-temannya. Empat sekawan itu bernama Inal, Aska, Nia dan Ondeng berjuang mencari pendidikan dari guru mereka di sebuah sekolah gratis. Inal dan Ondeng sama-sama memiliki kekurangan fisik dan mental. Inal adalah anak tuna netra, sedangkan Ondeng terbelakang secara mental. Keterbatasan yang mereka miliki tak pernah sedikitpun melunturkan niat mereka mencari pendidikan. Ondeng, sangat pintar menggambar. Semua dia gambar salah satu gambarnya adalah jembatan yang sering di lewati oleh teman-temannya. Ondeng rajin sekali menabung, sebab jembatan yang teman-temannya lewati sudah sangat rapuh. Ia ingin menganti jembatan itu. Namun, uang Ondeng belum cukup untuk membuat jembatan malah suatu hari jembatan itu  rubuh saat mereka melintas. Ondeng yang rumahnya lebih jauh dan selal