Langsung ke konten utama

Sejarah filsafat


Sejarah filsafat dapat diperiodisasi ke dalam empat periode[1] yaitu :
  1. Tahap/masa Yunani kuno (Abad ke-6 S.M sampai akhir abad ke-3 S.M)
  2. Tahap/masa Abad Pertengahan (akhir abad ke-3 S.M sampai awal abad ke-15 Masehi)
  3. Tahap/masa Modern (akhir abad ke-15 M sampai abad ke-19 Masehi)
  4. Tahap/masa dewasa ini/filsafat kontemporer (abad ke-20 Masehi)
sementara itu K. Bertens dalam bukunya Ringkasan Sejarah Filsafat (1976)[2] menyusun topik-topik pembahasannya sebagi berikut :
  1. Masa Purba Yunani
  2. Masa Patristik dan Abad pertengahan
  3. Masa Modern
Pembagian periodisasi yang nampaknya lebih rinci, dikemukakan oleh Susane K. Langer[3] yang membagi sejarah filsafat ke dalam enam tahapan yaitu :
  1. Yunani Kuno (+ 600 SM)
  2. Filsuf-filsuf Manusia Yunani
  3. Abad Pertengahan (300 SM –1300M)
  4. Filsafat Modern (17-19 M)
  5. Positivisme (Abad 20 M)
  6. Alam Simbolis
kemudian Gahral Adian menambahkan kepada enam tahapan tersebut dengan satu tahapan lagi yaitu Post Modernisme. Meskipun terdapat perbedaan dalam periodisasi sejarah filsafat, namun semua itu nampaknya lebih menunjukan perincian dengan menggunakan sifat pemikiran serta pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat.

Masa Yunani Kuno. Pada tahap awal kelahirannya filsafat  menampakkan diri sebagi suatu bentuk mitologi, serta dongeng-dongeng yang dipercayai oleh Bangsa Yunani, baru sesudah Thales (624-548 S.M) mengemukakan pertanyaan aneh pada waktu itu, filsafat berubah menjadi suatu bentuk pemikiran rasional (logos). Pertanyaan Thales yang menggambarkan rasa keingintahuan bukanlah pertanyaan biasa seperti apa rasa kopi ?, atau pada tahun keberapa tanaman kopi berbuah ?, pertanyaan Thales yang merupakan pertanyaan filsafat, karena mempunyai bobot yang dalam sesuatu yang ultimate (bermakna dalam) yang mempertanyakan tentang Apa sebenarnya bahan alam semesta ini (What is the nature of the world stuff ?), atas pertanyaan ini indra tidak bisa menjawabnya, sains juga terdiam, namun Filsuf berusaha menjawabnya. Thales menjawab Air (Water is the basic principle of the universe), dalam pandangan Thales air merupakan prinsip dasar alam semesta, karena air dapat berubah menjadi berbagai wujud  
Kemudian silih berganti Filsuf memberikan jawaban terhadap bahan dasar (Arche) dari semesta raya ini dengan argumentasinya masing-masing. Anaximandros (610-540 S.M) mengatakan Arche is toApeiron, Apeiron adalah sesuatu yang paling awal dan abadi, Pythagoras (580-500 S.M) menyatakan bahwa hakekat alam semesta adalah bilanganDemokritos (460-370 S.M) berpendapat hakekat alam semesta adalah Atom, Anaximenes (585-528 S.M) menyatakan udara, dan Herakleitos (544-484 S.M) menjawab asal hakekat alam semesta adalah api, dia berpendapat bahwa di dunia ini tak ada yang tetap, semuanya mengalir. Variasi jawaban yang dikemukakan para filsuf menandai dinamika pemikiran yang mencoba mendobrak dominasi mitologi, mereka mulai secara intens memikirkan tentang Alam/Dunia, sehingga sering dijuluki sebagai Philosopher atau akhli tentang Filsafat Alam (Natural Philosopher), yang dalam perkembangan selanjutnya melahirkan Ilmu-ilmu kealaman.
Pada perkembangan selanjutnya, disamping pemikiran tentang Alam, para akhli fikir Yunani pun banyak yang berupaya memikirkan tentang hidup kita (manusia) di Dunia. Dari titik tolak ini lahir lah Filsafat moral (atau filsafat sosial) yang pada tahapan berikutnya mendorong lahirnya Ilmu-ilmu sosial. Diantara filsuf terkenal yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kehidupan manusia adalahSocrates   (470-399 S.M),  dia   sangat   menentang  ajaran  kaum  Sofis[4] yang   cenderung   mempermainkan   kebenaran, Socrates  berusaha meyakinkan bahwa kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang objektif yang harus diterima dan dijunjung tinggi oleh semua orang. Dia mengajukan pertanyaan pada siapa saja yang ditemui dijalan untuk membukakan batin warga Athena kepada kebenaran (yang benar) dan kebaikan (yang baik). Dari prilakunya ini pemerintah  Athena menganggap Socrates sebagai penghasut, dan akhirnya dia dihukum mati dengan jalan meminum racun.
Sesudah Socrates mennggal, filsafat Yunani terus berkembang dengan Tokohnya Plato (427-347 S.M), salah seorang murid Socrates. Diantara pemikiran Plato yang penting adalah berkaitan dengan pembagian realitas ke dalam dua bagian yaitu realitas/dunia yang hanya terbuka bagi rasio, dan dunia yang terbuka bagi pancaindra, dunia pertama terdiri dari idea-idea, dan dunia ke dua adalah dunia jasmani (pancaindra), dunia ide sifatnya sempurna dan tetap, sedangkan dunia jasmani selalu berubah. Dengan pendapatnya tersebut, menurut Kees Berten (1976)[5], Plato berhasil mendamaikan pendapatnya Herakleitos dengan pendapatnya Permenides, menurut Herakleitos segala sesuatu selalu berubah, ini benar kata Plato, tapi hanya bagi dunia Jasmani (Pancaindra), sementara menurut Permenides segala sesuatu sama sekali sempurna dan tidak dapat berubah, ini juga benar kata Plato, tapi hanya berlaku pada dunia idea saja.
Dalam sejarah Filsafat Yunani, terdapat seorang filsuf yang sangat legendaris yaitu Aristoteles (384-322 S.M), seorang yang pernah belajar di Akademia Plato di Athena. Setelah Plato meninggal Aristoteles menjadi guru pribadinya Alexander Agung selama dua tahun, sesudah itu dia kembali lagi ke Athena dan mendirikan Lykeion, dia sangat mengagumi pemikiran-pemikiran Plato meskipun dalam filsafat, Aristoteles mengambil jalan yang berbeda (Aristoteles pernah mengatakan-ada juga yang berpendapat bahwa ini bukan ucapan Aristoteles- Amicus Plato, magis amica veritas – Plato  memang sahabatku, tapi kebenaran lebih akrab bagiku – ungkapan ini terkadang diterjemahkan bebas menjadi “Saya mencintai Plato, tapi saya lebih mencintai kebenaran”)
Aristoteles mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea, menurut Dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea akan tetapi dalam benda-benda jasmani itu sendiri, untuk itu Aristoteles mengemukakan teori Hilemorfisme (Hyle = Materi, Morphe = bentuk), menurut teori ini,  setiap benda jasmani memiliki dua hal  yaitu bentuk dan materi, sebagai contoh, sebuah patung pasti memiliki dua hal yaitu materi atau bahan baku patung misalnya kayu atau batu, dan bentuk misalnya bentuk kuda atau bentuk manusia, keduanya tidak mungkin lepas satu sama lain, contoh tersebut hanyalah untuk memudahkan pemahaman, sebab dalam pandangan Aristoteles materi dan bentuk itu merupakan prinsip-prinsip metafisika untuk memperkukuh dimungkinkannya Ilmu pengetahuan atas dasar bentuk dalam setiap benda konkrit. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya tentang manusia, manusia terdiri dari materi dan bentuk, bentuk adalah jiwa, dan karena bentuk tidak pernah lepas dari materi, maka konsekwensinya adalah bahwa apabila manusia mati, jiwanya (bentuk) juga akan hancur.
Disamping pendapat tersebut Aristoteles juga dikenal sebagai Bapak Logika yaitu suatu cara berpikir yang teratur menurut urutan yang tepat atau berdasarkan hubungan sebab akibat. Dia adalah yang pertama kali membentangkan cara berpikir teratur  dalam suatu sistem, yang intisarinya adalahSylogisme (masalah ini akan diuraikan khusus dalam topik Logika) yaitu menarik  kesimpulan dari kenyataan umum atas hal yang khusus[6].

Abad Pertengahan. Semenjak meninggalnya Aristoteles, filsafat terus berkembang dan mendapat kedudukan yang tetap penting dalam kehidupan pemikiran manusia meskipun dengan corak dan titik tekan yang berbeda. Periode sejak meninggalnya Aristoteles (atau sesudah meninggalnya Alexander Agung (323 S.M) sampai menjelang lahirnya Agama Kristen oleh Droysen (Ahmad Tafsir. 1992) disebut periode Hellenistik (Hellenisme adalah istilah yang menunjukan kebudayaan gabungan antara budaya Yunani dan Asia Kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir Kuno). Dalam masa ini Filsafat ditandai antara lain dengan perhatian pada hal yang lebih aplikatif, serta kurang memperhatikan Metafisika, dengan semangat yang Eklektik (mensintesiskan pendapat yang berlawanan) dan bercorak Mistik.
Menurut  A. Epping. at al (1983)[7], ciri manusia (pemikiran filsafat) abad pertengahan adalah : (1) Ciri berfilsafatnya dipimpin oleh Gereja, (2) Berfilsafat di dalam lingkungan ajaran Aristoteles, (3)berfilsafat dengan pertolongan Augustinus
pada masa ini filsafat cenderung kehilangan otonominya, pemikiran filsafat abad pertengahan bercirikan Teosentris (kebenaran berpusat pada wahyu Tuhan), hal ini tidak mengherankan mengingat pada masa ini pengaruh Agama Kristen sangat besar dalam kehidupan manusia, termasuk dalam bidang pemikiran.
            Filsafat abad pertengahan sering juga disebut filsafat scholastik, yakni filsafat yang mempunyai corak semata-mata bersifat keagamaan, dan mengabdi pada teologi. Pada masa ini memang terdapat upaya-upaya para filsuf untuk memadukan antara pemikiran Rasional (terutama pemikiran-pemikiran Aristoteles) dengan Wahyu Tuhan sehingga dapat dipandang sebagai upaya sintesa antara kepercayaan dan akal. Keadaan ini pun terjadi dikalangan umat Islam yang mencoba melihat ajaran Islam dengan sudut pandang Filsafat (rasional), hal ini dimungkinkan mengingat begitu kuatnya pengaruh pemikiran-pemikiran ahli filsafat Yunani/hellenisme dalam dunia pemikiran saat itu, sehingga keyakinan Agama perlu dicarikan landasan filosofisnya agar menjadi suatu keyakinan yang rasional.
Pemikiran-pemikiran yang mencoba melihat Agama dari perspektif filosofis terjadi baik di dunia Islam maupun Kristen, sehingga para ahli mengelompokan filsafat skolastik ke dalam filsafat skolastik Islam dan filsafat skolastik Kristen.
Di dunia Islam (Umat Islam) lahir filsuf-filsuf terkenal seperti Al Kindi (801-865 M),  Al Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (980-1037 M), Al Ghazali (1058-1111 M), dan Ibnu Rusyd (1126-1198), sementara itu di dunia Kristen lahir Filsuf-filsuf antara lain seperti  Peter Abelardus (1079-1180), Albertus Magnus(1203-1280 M), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka ini disamping sebagai Filsuf juga orang-orang yang mendalami ajaran agamanya masing-masing, sehingga corak pemikirannya mengacu pada upaya mempertahankan keyakinan agama dengan jalan filosofis, meskipun dalam banyak hal terkadang ajaran Agama dijadikan Hakim untuk memfonis benar tidaknya suatu hasil pemikiran Filsafat (Pemikiran Rasional).
           
Masa Modern. Pada masa ini pemikiran filosofis seperti dilahirkan kembali dimana sebelumnya dominasi gereja sangat dominan yang berakibat pada upaya mensinkronkan antara ajaran gereja dengan pemikiran filsafat. Kebangkitan kembali rasio mewarnai zaman modern dengan salah seorang pelopornya adalah Descartes, dia berjasa dalam merehabilitasi, mengotonomisasi kembali rasio yang sebelumnya hanya menjadi budak keimanan.
            Diantara pemikiran Desacartes (1596-1650) yang penting adalah diktum kesangsian, dengan mengatakan Cogito ergo sum, yang biasa diartikan saya berfikir, maka saya ada. Dengan ungkapan ini posisi rasio/fikiran sebagai sumber pengetahuan menjadi semakin kuat, ajarannya punya pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, segala sesuatu bisa disangsikan tapi subjek yang berfikir menguatkan kepada kepastian.
            Dalam perkembangnnya argumen Descartes (rasionalisme) mendapat tantangan keras dari para filosof penganut Empirisme seperti David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704). Mereka berpendapat bahwa pengetahuan hanya didapatkan dari pengalaman lewat pengamatan empiris. Pertentangan tersebut terus berlanjut sampai muncul Immanuel Kant (1724-1804) yang berhasil membuat sintesis antara rasionalisme dengan empirisme, Kant juga dianggap sebagai tokoh sentral dalam zaman modern dengan pernyataannya yang terkenal sapere aude(berani berfikir sendiri), pernyataan ini jelas makin mendorong upaya-upaya berfikir manusia tanpa perlu takut terhadap kekangan dari Gereja.
Pandangan empirisme semakin kuat pengaruhnya dalam cabang ilmu pengetahuan setelah munculnya pandangan August Comte (1798-1857) tentang Positivisme. Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa memahami  hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan  keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam, dengan bekal  itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui)  alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan seperti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte.Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti  dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
            Pengaruh positivisme yang sangat besar dalam zaman modern sampai sekarang ini, telah mengundang para pemikir untuk mempertanyakannya, kelahiran post modernisme yang narasi awalnya dikemukakan oleh Daniel Bell dalam bukunya The cultural contradiction of capitalism, yang salah satu pokok fikirannya adalah bahwa etika kapitalisme yang menekankan kerja keras, individualitas, dan prestasi telah berubah menjadi hedonis konsumeristis.
            Postmodernisme pada dasarnya merupakan pandangan yang tidak/kurang mempercayai narasi-narasi universal serta kesamaan dalam segala hal, faham ini lebih memberikan tempat pada narasi-narasi kecil dan lokal yang berarti lebih menekankan pada keberagaman dalam memaknai kehidupan.


[1] Sudarto, 1996. Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta. RajaGrafindo

[2] K. Berten,  1976. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. Kanisius

[3] dalam Donny Gahral Adian, 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Jakarta. Teraju

[4] Kaum  Sofis adalah golongan yang tidak lagi memikirkan alam, malainkan melatih kemahiran manusia dalam berpidato, berargumentasi untuk mempertahankan kebenaran, akan tetapi bagi mereka kebenaran itu sifatnya relatif tergantung kemampuan berargumentasi. Salah seorang tokohnya adalahProtagoras yang berpendapat bahwa Man is the measure of all things 

[5] K. Berten,  1976. Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta. Kanisius

[6] Mohammad Hatta. 1964. Alam Pikiran Yunani (Jilid 1 dan 2). Jakarta. Tintamas

[7] A. Epping O.F.M. et al. 1983. Filsafat Ensie. Bandung Jemmar
 ·  · Share

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk ke Bendungan Brayen, Aceh Besar

Nita Juniarti AcehNews.net –  Bendungan Brayen merupakan hasil dari ekspresi keindahan alam dengan perbuatan manusia. Bendungan ini berada di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh jaraknya sekitar 30 Kilomoter  dari Banda Aceh. Tidak sulit mencarinya, melewati jalur pantai Barat-Selatan, nanti Anda akan menemukan papan bertuliskan  “Wisata Brayen”. Kemudian dari arah pintu masuk tersebut Anda bisa terus berjalan ke lokasi wisata, lebih kurang 100 meter. Ada yang view yang indah saat Anda melintas di jalan masuk tersebut. Jalan lintasan masyarakat kampung yang masih alami ini akan memberi  landscape , sawah tadah hujan dan masyarakat yang berlalu lalang. Jika sedang musim hujan maka harus ekstra hati-hati saat melalui jalan ini. Nita Juniarti-Teman KPM PAR MAheng Biasanya tempat ini dikunjungi oleh keluarga, kaulah muda di hari libur khususnya pukul 15.00 yang paling ramai dikunjungi. Tiket masuknya hanya Rp2.000 per orang dan parkir dengan harga yang sama. Air s

Cerita Film : Jembatan Pensil

Film Jembatan pensil. Latar belakang dari film ini adalah suasana di perkampungan suku Muna, Sulawesi Tenggara. Menariknya, film yang mengangkat kisah Ondeng, si anak berkebutuhan khusus tapi selalu setia pada teman-temannya. Empat sekawan itu bernama Inal, Aska, Nia dan Ondeng berjuang mencari pendidikan dari guru mereka di sebuah sekolah gratis. Inal dan Ondeng sama-sama memiliki kekurangan fisik dan mental. Inal adalah anak tuna netra, sedangkan Ondeng terbelakang secara mental. Keterbatasan yang mereka miliki tak pernah sedikitpun melunturkan niat mereka mencari pendidikan. Ondeng, sangat pintar menggambar. Semua dia gambar salah satu gambarnya adalah jembatan yang sering di lewati oleh teman-temannya. Ondeng rajin sekali menabung, sebab jembatan yang teman-temannya lewati sudah sangat rapuh. Ia ingin menganti jembatan itu. Namun, uang Ondeng belum cukup untuk membuat jembatan malah suatu hari jembatan itu  rubuh saat mereka melintas. Ondeng yang rumahnya lebih jauh dan selal

Prasangka

  Meski sudah belajar banyak, meski sudah tau tips ini itu, sungguh tidak mudah bagi seorang perempuan mengatasi perasaannya sendiri, rasanya teramat mustahil baginya setiap kali ia mengalami guncangan perasaan. Jun dan Wi jarang bertengkar, selama LDRan, Dunia yang berada dalam resesi membuat mereka semakin kalut dengan pertahanan masing-masing. Rencana pernikahan harus ditunda, keadaan tidak memungkinkan. Biasanya salah satu dari mereka mengalah agar tidak terjadi pertengkaran hebat, tapi tidak malam itu, mereka sama-sama jenuh.  "Aku capek sekali, berusaha sebisa mungkin  untuk niat baik. Tapi barangkali kau memahaminya berbeda" teriak Jun diseberang sana  "Kalo kau capek : berhentilah" Wi balas berteriak "Cari uang untuk bisa melamarmu siang dan malam, yakinkan Umi, mama, kamu, dan bahkan meyakinkan dirimu juga aku, semuanya harus kulakukan sendiri. Aneh, bukannya kau yang terdengar ingin berhenti" "Dan aku ga pernah ada bersama kau?" "J