I.
Latar belakang
Filsafat politik adalah suatu pendekatan ilmu politik
yang relatif abstrak sebab berbicara pada dataran filosofis kegiatan politik.
Pendekatan ini mengkaji mengapa suatu Negara terbentuk, apa tujuan Negara,
siapa yang layak memerintah, dimana posisi ideal penguasa dengan yang dikuasai,
dan juga menyinggung moral politik.
Ilmu politik mengalami perkembangan yang sangat pesat
dengan munculnya beberapa pendekatan yaitu pendekatan legal (yurudis) dan
institusional telah disusun dengan pendekatan perilaku, pasca perilaku, dan
pendakatan neo-marxis. Selanjutnya muncul dan berkembang pendekatan-pendekatan
yang lainnya seperti pilihan rasional (rational choice), teori ketergantungan
(dependency theory), dan intitusionalisme baru (new institusionalism).
Untuk mendalami filsafat politik berbagai pendekatan
dalam ilmu politik akan dibahas di bab pembahasan.
II. Pembahasan
1. Filsafat Politik
pada masa Yunani Kuno
Pada masa kehidupan Plato, Negara dan kota Athena
menjadi rebutan dari orang-orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin.
Plato mempromosikan filsafat politiknya demi member arahan yang benar seputar
bagaimana menyelenggarakan kehidupan bernegara. Bagi Plato, kehidupan Negara
yang sempurna akan tercapai jika prinsip-prinsip keadilan ditegakkan. Keadilan
menurut Plato adalah tatanan keseluruhan masyarakat yang sesuai dan seimbang.
Negara menurut Plata terdiri atas tiga golongan besar, yaitu:
1.
Para pekerja
2.
Para penjaga
3.
Para pemimpin.
Para pekerja terdiri atas mereka yang bekerja agar
barang-barang kebutuhan manusia dapat tersidia, contoh para petani, pedagang
dan lain-lain. Karena mereka hanya memahami kepentingan mereka sendiri, mereka
harus diatur agar hidupnya selaras dengan kepentingan umum oleh para penjaga.
Golongan kedua yaitu para penjaga mengabdikan seluruh
hidupnya demi kepentingan umum. Untuk itu golongan penjaga dilarang untuk
memuaskan kepentingan pribadi. Golongan ketiga yaitu para pemimpin dipilih
diantara para penjaga, khususnya mereka yang memahami filsafat. Dengan
demikian, seorang penguasa bagi Plato harus seorang filsuf-raja.[1]
Menurut Aristoteles, ia mempersamakan tujuan Negara
dengan tujuan manusia yaitu menciptakan kebahagian atau eudaimonia. Dengan
demikian, tugas Negara bagi Aristoteles yaitu mengusahakan kebahagiaan hidup
warga negaranya. Aristoteles menentang gagasan Plato untuk menyerahkan kekuasaan
Negara hanya kepada filsuf-raja yang tanpa konstitusi. Sebaliknya, Aristoteles
menyarankan suatu pembentukan suatu Negara bernama Politeia yaitu Negara yang
berkonstitusi. Sumber kekuasaan dalam Politeia adalah hukum.
Bagi Aristoteles, kekuasaan suatu Negara harus berada
ditangan banyak orang agar suatu keputusan tidak dibuat secara pribadi
melainkan kolektif. Namun, kekuasaan tersebut jangan berada ditangan golongan
miskin atau kaya, melainkan golongan menengah. Satu hal penting yaitu seluruh
penguasa harus takluk kepada hukum. Bagi Aristoteles Negara sama seperti
organism yaitu ia mampu berkembang dan mati.
Aristoteles menekankan pentingnya konstitusi campuran
yang merupakan aturan dasar kehidupan bernegara. Konstitusi ini harus menunjuk
kebahagiaan setiap individu sebagai hal ideal yang harus dicapai suatu Negara.
Kebahagiaan secara praktis diturunkan kedalam bentuk
kebijaksanaan-kebijaksanaan praktis. Setiap kebijaksanaan menghasilkan
pilihan-pilihan baru bagi warga Negara yang nantinya diwujudkan kedalam bentuk
konstitusi campuran.
Seorang sarjana politik terkemuka Vernon van Dyke
mengatakan bahwa suatu pendekatan kriteria untuk menyeleksi masaalah dan data
yang relevan. Dengan kata lain istilah pendekatan mencakup standar atau tolak
ukur yang dipakai untuk memilih masalah, menentukan data mana yang akan
diteliti dan data mana yang akan dikesampingkan. Ada beberapa pendekatan dalam
ilmu politik yang akan dibahas dibawah ini.
1.
Pendekatan
legal/institusional
Pendekatan ini sering dinamakan pendekatan
tradisional. Pendekatan ini mulai berkembang pada abad 19 sebelum perang dunia
kedua. Dalam pendekatan ini Negara menjadi fokus pokok, terutama dari segi
konstitusional dan yuridis. Bahasan tradisional menyangkut antara lain sifat
dari UUD, masaalah kedaulatan, kedudukan dan kekuasaan formal serta yuridis
dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen, badan eksekutif, dan badan
yudikatif.
Pendekatan tradisional lebih lebih sering bersifat
normatif (yaitu sesuai dengan ideal atau standar tertentu) dengan
mengasumsikan norma-norma demokrasi
barat. Pendekatan ini cenderung untuk mendesak konsep kekuasaan dari
kedudukan sebagai satu-satunya faktor
tertentu dalam proses membuat dan melaksanakan keputusan.
2.
Pendekatan
prilaku
Pendekatan prilaku timbul dan mulai berkembang di
Amerika pada tahun 1950-an setelah perang dunia II. Adapun sebab-sebab
kemunculannya adalah sebagai berikut.
a.
Sifat deskriptif
dari ilmu politik dianggap tidak memuaskan, karena tidak realistis dan sangat
berbeda dengan kenyataan sehari-hari.
b.
Ada kekhawatiran
bahwa jika ilmu politik tidak maju dengan pesat, ia akan ketinggalan disbanding
dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti sosiologi.
c.
Dikalangan
pemerintah Amerika telah muncul keraguan mengenai sarjana ilmu politik untuk
nenerangkan fenomena politik.
Salah satu pemikiran pokok dari pendekatan prilaku ialah bahwa tidak ada
gunanya membahas lembaga-lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak
banyak mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaiknya, lebih bermamfaat
untuk mempelajari prilaku manusia karena merupakan gejala yang benar-benar
dapat diamati. Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai
titik sentral atau sebagai actor yang independen, tetapi hanya sebagai kerangka
bagi kegiatan manusia.
Salah satu ciri khas pendekatan prilaku ini adalah
pandangan bahwa masyarakat melihat sebagai suatu system sosial, dan Negara
sebagai suatu system politik yang menjadi subsistem dari system sosial. Dalam
perkembangannya pendekatan prilaku pun tidak luput dari kritik yang datang dari
berbagai pihak, oleh karena itu kritik terhadap pendekatan prilaku akan dibahas
dibawah ini.
-
Kritik terhadap Pendekan Prilaku
Para sarjana tradisionalis seperti Eric Voegelin, Leo
Straus, dan John Hollowell menyerang pendekatan prilaku dengan argumentasi
bahwa pendekatan itu terlalu steril karena menolak masuknya nilai-nilai dan
norma-norma dalam penelitian politik. Menurut kalangan tradisionalis meraka
yang berada dibalik pendekatan prilaku tidak mengusahakan mencari jawaban atas
pertanyaan politik yang mengandung nilai seperti apakah system politik
demokrasi yang baik, atau bagaimana membangun masyarakat yang adil dan
sebagainya.
Pendekatan
prilaku juga tidak mempunyai relavansi dengan realitas politik dan terlalu
banyak memusatkan perhatian pada masaalah yang kurang penting, seperti suvei
mengenai prilaku pemilih, sikap politik dan pendapat umum.
3.
Pendekatan
Neo-Marxis
Diwaktu para penganut pendekatan prilaku sibuk
manangkis serangan dari para sarjana pasca-prilaku, muncullah kritik dari kubu
lain, yaitu dari kalangan marxis. Para marxis ini, yang sering dinamakan
neo-marxis untuk membedakan mereka dari orang marxis klasik yang lebih dekat
dengan komunisme, bukan merupakan kelompok yang ketat organisasinya atau
mempunyai pokok pemikaran yang sama.
Kebanyakan kalangan neo-marxis adalah cendikiyaan yang
berasal dari kalangan borjuis dan seperti cendikiyawan dimana-mana, enggan
menggabungkan dalam organisasi besar seperti partai politik atau terjun aktif
dalam kegiatan politik praktis.
Salah satu kelemahan yang melekat pada golongan
neo-marxis adalah bahwa mereka mempelajari marx dalam keadaan dunia yang sudah
banyak berubah. Marx dan Angels tidak mengalami bagaimana pemikiran mereka
dijabarkan dan diberi tafsiran khusus oleh Lenin. Tafsiran ini kemudian
dibakukan oleh Stalin dan diberi nama marxisme-leninisme dan komunisme. Selain
itu karya Mark dan Angels sering ditulis dalam keadaan terdesak waktu sehingga
tidak tersusun secara sistematis, sering bersifat frakmentaris dan
terpisah-pisah. Dengan demikian banyak masaalah yang oleh golongan neo-marxis
dianggap masaalah pokok, hanya disinggung sepintas lalu atau tidak disinggung
sama sekali.
Focus analisis neo-marxis adalah kekuasaan serta
konflik yang terjadi dalam Negara. Mereka mengecam analisis
structural-fungsional dari bahavioralis karena terlampau mengutamakan harmoni
dan keseimbangan sosial dalam suatu system politik. Menurut pandangan
structural fungsional, konflik didalam masyarakat dapat diatasi melalui rasio,
iktikad baik, dan kompromi dan ini sangat berbeda dengan titik tolak pemikiran
neo-marxis.
4.
Pendekatan
ketergantungan
Teori ketergantungan adalah kelompok yang
mengkhususkan penelitiannya pada hubungan antara dunia pertama dan dunia
ketiga. Bertolak dari konsep Lenin mengenaio imperalisme, kelompok ini
berpendapat bahwa imperalisme masih hidup, tetapi dalam bentuk lain yaitu
dominasi ekonomi dari Negara-negara kaya terhadap Negara-negara yang kurang
maju. Pembangunan yang dilakukan Negara-negara yang kurang maju atau dunia
ketiga, hampir selalu berkaitan erat dengan kepentingan pihak barat. Pertama,
Negara bekas jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya
alam. Kedua, Negara kurang maju dapat menjadi hasil produksi Negara maju,
sedangkan produksi untuk ekspor sering ditentukan oleh Negara maju.
5.
Pendekatan
pilihan rasional
Pendekatan ini muncul dan berkembang belakangan
sesudah pertentangan antara pendekatan-pendekatan yang dibicarakan diatas
mencapai semacam consensus yang menunjukkan adanya pluralitas dalam
bermacam-macam pandangan. Ia juga lahir dalam dunia yang bebas dari peperangan
besar selama empat decade, dimana seluruh dunia berlomba-lomba membangun
ekonomi negaranya. Berbagai pariasi analisis telah mengembangkan satu bidang
ilmu politik tersendiri, yaitu ekonomi politik. Dikatakan bahwa manusia ekonomi
karena melihat adanya kaitan erat antara factor politik, terutama dalam penentuan
kebijakan politik. Teknik-teknik formal yang dipakai para ahli ekonomi
diaplikasiakan dalam penelitian gejala-gejala politik. Metode induktif akan
menghasilkan model-model untuk berbagai tindakan politik.
Inti
dari politik menurut mereka adalah individu sebagai actor terpenting dalam
dunia politik. Sebagai makhluk rasional ia selalu mempunyaiai tujuan-tujuan
yang mencerminkan apa yang dianggap kepentingan diri sendiri. Ia melakukan hal
itu dalam situasi terbatasnya sumber daya dan karena itu ia perlu membuat
piliahan.
6.
Pendekatan
Institusionalisme baru
Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan-pendekatan
yang diuraikan sebelumnya. Ia lebih merupakan suat visi yang meliputi beberapa
pendekatan lain. Pendekatan ini mempunyai banyak aspek dan pariasi seperti
institusionalisme baru sosisologi, ekonomi, dan sebagainya.
Pendekatan ini merupakan penyimpangan dari
institusionalisme lama. Institusionalisme lama mengupas lembaga-lembaga
kenegaraan seperti apa adanya secara statis. Berbeda dengan itu institusionalisme
baru melihat institusi Negara sebagai hal yang dapat diperbaiki kearah suatu
tujuan tertentu misalnya membangun masyarakat yang lebih makmur.
Pendekatan ini sebenarnya dipicu oleh pendekatan
behavioralis yang melihat politik dan kebijakan public sebagai hasil dari
prilaku kelompok besar atau masa, dan pemerintahan sebagai institusi yang hanya
mencerminkan kegiatan massa itu. Pendekatan ini menjelaskan bagaimana
organisasi intitusi itu, apa tanggung jawab dari setiap peran dan institusi
berinteraksi.
Inti dari pendekatan ini dirumuskan oleh Robert E.
Goodin sebagai berikut:
a.
Actor dan
kelompok melaksanakan proyeknya dalam suatu konteks yang dibatasi secara
kolektif
b.
Pembatasan-pemabatasan
itu terdiri dari institusi-instusi, yaitu:
-
Pola norma dan
pola perang yang telah berkembang dalam kehidupan sosial.
-
Prilaku dari
mereka yang memegang peran itu. Peran itu telah ditentukan secara sosial dan
mengalami perubahan terus-menurus.
c.
Sekalipun
demikian, pembatasan-pembatasan ini dalam banyak hal juga member keuntungan
bagi individu atau kelompok dalam mengejar proyek mereka masing-masing.
d.
Hal itu
disebabkan karena factor-faktor yang membatasi kegiatan individu dan kelompok,
juga mempengaruhi pembentukan prifensi dan motivasi dari actor dan
kelompok-kelompok.
e.
Pembatasan-pembatasan
ini mempunyai akar historis sebagai peninggalan dari tindakan dan
pilihan-pilihan masa lalu.
f.
Pembatasan-pembatasan
ini mewujudkan, memelihara, dan member peluang serta kekuatan yang berbeda
kepada individu dan kelompok masing-masing.
Perbedaan institusionalisme baru dengan
institusionalisme lama adalah perhatian institusionalisme baru lebih tertuju
pada analisis ekonomi, kebijakan fiscal dan moneter, pasar dan globalisasi
ketimbang pada masalah konstitusi yuridis. Dapat dikatakan bahwa ilmu politik,
dengan mengembalikan focus atas Negara termasuk aspek legal atau
institusionalnya, telah mengalami suatu lingkaran penuh.
III. Penutup
Dalam filsafat politik diharuskan mempunyai
pendekatan, ini perlu dilakukan agar supaya dapat mengetahui kenapa Negara
harus ada, kemana Negara tersebut mengarah, dan kemudian siapa yang
mengendalikan Negara tersebut. Jika sebuah Negara sudah berdiri, maka
diperlukan pemimpin-pemimpin yang layak yang dapat mensejahterakan masyarakat.
Dalam hal ini Plato berasumsi bahwa kekuasaan sebaiknya diserahkan kepada
filsuf-raja tan harus berkonstitusi. Hal ini berbeda dengan pandangan
Aristoteles yang menyarankan pembentukan Negara yang harus berdasarkan
konstitusi atau berdasarkan hukum yang mengatur.
Untuk menghindari kehidupan bernegara yang tidak
sesuai, maka diperlukan pendekatan filsafat dalam ilmu politik yang dapat
mengukur permasalahan dalam sebuah Negara. Adapun pendekatan tersebut yang
sudah dibahas diatas seperti pendekatan legal, pendekatan prilaku, pendekatan
neo-marxis, pendekatan ketergantungan, pendekatan pilihan rasional dan
pendekatan institusionalisme baru.
Referensi
Henry J.
schmandt, Filsafat Politik, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005)
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)
Inu Kencana Syafi’ie, Ilmu Politik,(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000)
Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Varma, S.P, Teori
Politik Modern, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007)
Komentar
Posting Komentar