HAMPARAN
pasir putih membentang luas sepanjang pantai Uj.Suedeun. Riak ombak
dan hembusan angin yang mengayunkan pohon kelapa, memecahkan kesunyian
kawasan teluk di kaki gunung Geurutee itu. Lamno, sebuah kota kecil di
Kabupaten Aceh Jaya.
Berjarak sekitar 75 KM dari Banda Aceh,
Lamno menyimpan sejuta sejarah. Sejak dahulu, Lamno terkenal sebagai
kawasan asal gadis berkulit putih, bermata biru, berambut pirang mirip
bangsa Eropa. Mereka dipercaya merupakan keturunan prajurit Portugis
yang terdampar di kerajaaan daya di abad ke-15 silam.
Sejarah
mencatat, sekitar tahun 1492-1 511, kapal perang Portugis pimpinan
Kapten Pinto yang kalah perang dengan Belanda di Selat Melaka, mengalami
kerusakan saat berlayar dari Singapura. Kapal ini terdampar di pantai
Kerajaan Daya. Raja Daya tak ingin membiarkan kapal itu lari dan
mendarat tanpa izin di Kuala Daya. Laskar Rimueng Daya menghujam
tembakan ke kapal itu dengan meriam besar hingga tenggelam.
Semua
awak kapal dan tentara Portugis akhirnya menyerah dan meminta
perlindungan. Sambil menunggu bala bantuan armada kapal dari negerinya
menjemput mereka, pasukan Portugis menjadi tawanan. Awak kapal
dikarantina dalam satu kawasan berpagar tinggi.
Hari demi hari
mereka terus menunggu pertolongan. Tapi bantuan tak kunjung datang.
Mereka pun menyerah pada Raja Daya. Raja Daya yang terkenal arif itu
membebaskan mereka tanpa syarat harus menjadi budak.
Tentara
Portugis itu kemudian berbaur dengan penduduk Lamno. Mereka diajarkan
bertani, berbahasa, dan diperkenalkan adat istiadat dan budaya
masyarakat Aceh. Para mantan tawanan perang itu kemudian juga dibolehkan
untuk mempersunting gadis pribumi, tentu setelah memeluk islam.
Menurut
versi lain asal-usul "orang putih" di Lamno, mereka bukan terdampar,
melainkan sengaja datang berdagang dengan penduduk Negeri Daya. Mereka
membawa pelbagai barang berharga, mulai dari porselen hingga senjata dan
mesiu. Balik ke negerinya, mereka mengangkut rempah-rempah dan
berbagai hasil bumi. Kala itu Daya merupakan bandar dagang yang ramai
di Aceh. Para saudagar berdatangan dari India, Arab, Cina, dan Eropa
tentu saja.
Hubungan baik antara Raja Daya dan para saudagar
berkulit putih, yang tersiar sampai jauh, membuat gusar Raja Kerajaan
Lamuri di Banda Aceh, Ali Mugayat Syah. Ali, yang ingin Pahlawan Syah
memutuskan hubungan dengan pedagang Portugis, yang menurut dia kafir,
lalu menyerang dan menguasai Daya.
Dialah yang kemudian menawan
"orang-orang putih" itu di Meunanga. Dua tahun kemudian, Ali menguasai
dua kerajaan lain: Pase dan Pedir (Pidie), lalu mendirikan Kerajaan
Aceh Darussalam dan mengangkat dirinya sebagai raja yang pertama
(1511-1530).
Melihat lokasi Lamno yang tak terlalu jauh dari
jalur dagang Portugis—Atlantis, Selat Malaka, Pasifik—cerita tentang
Daya sebagai pelabuhan dagang nan ramai di Aceh cukup masuk akal.
Tempat itu mudah ditemukan.
Marco Polo melakukan itu pada 1292
dalam pelayarannya dari Cina menuju Persia, seperti bisa disimak dalam
bukunya, Far East. Antara lain, Marco Polo mengatakan pernah berlabuh
di enam bandar di sebelah utara Sumatera, termasuk Ferlec, Samudera,
dan Lambri atawa Lamuri.
Catatan lebih tua bahkan menyebut
perdagangan global di Aceh telah dimulai sejak abad ke-6 M. Para
pedagang Cina, misalnya, meninggalkan catatan-catatan tentang sebuah
kerajaan di bagian utara Sumatera, yang mereka beri nama Po-Li. Wilayah
ini juga disebut-sebut dalam catatan kuno yang ditemukan di India,
berasal dari awal abad ke-9 M.
Perdagangan di bandar-bandar Aceh
bertambah maju setelah Portugis mengalahkan Malaka pada 1511,
bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam. Takut pada
Portugis, para pedagang dari Asia dan Arab mulai menghindari Selat
Malaka dan beralih ke pelabuhan-pelabuhan di Aceh.
Sejak itu,
dominasi Aceh dalam perdagangan dan politik di wilayah itu menguat, dan
mencapai puncaknya antara 1610 dan 1640. Karena hidup dalam komunitas
terbatas selama beratus-ratus tahun, darah Portugis masih mengalir dalam
diri sebagian masyarakat Lamno, terutama yang menetap di Kuala Daya
dan Lambeuso serta Ujong Muloh.
Selain identik sebagai daerah
asal gadis bermata biru, Lamno juga dikenal sebagai negeri para raja.
Tokoh yang sering disebut misalnya Poeteumerom. Bernama lengkap Sultan
Alaidin Ri’ayatsyah, dia lah yang membawa Islam menyebar ke kawasan
itu.
Safrizal Tsabit (pak jal), pemerhati budaya di Lamno
mengatakan, Poe temeureuhom berasal dari kerajaan Samudra Pasai.
Bersama rombongannya, dia mulai melakukan perjalanan mulai dari Desa
Mareu mengikuti arah hulu sungai dan kemudian menyisir kawasan pesisir
pantai. “Rombongan kemudian berhasil menaklukkan raja-raja kecil
disepanjang aliran sungai,” katanya.
Di kawasan itu, awalnya
terdapat kerajaan meliputi kerajaan Lamno, Keuluang Daya, Kuala Unga
dan Kuala Daya. Setelah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil
itu, Poe teumeureuhom tak langsung membubarkannya. Namun Wilayah yang
ditaklukinya diberikan hak otonomi dan tunduk dalam Kerajaan Daya atau
yang dikenal dengan Meureuhom Daya.
Sebagai bentuk terimakasih
rakyat kepada sang raja, digelar lah upacara Peumeunap dan Sumeuleueng.
Dalam upacara itu raja disuapi nasi yang berasal dari hasil panen
terbaik. Upacara penabalan raja ini kemudian dikenang dan dilangsungkan
sampai sekarang setiap tanggal 10 Zulhijjah atau pada hari raya
kurban.
Sejarah juga mencatat sepeninggal Poteumeureuhom kondisi
Kerajaan Daya sedikit goyah. Kerajaan daya yang kemudian juga tunduk
pada kerajaan Aceh Darussalam, harus bertahan melawan portugis yang
ingin menguasai seluruh wilayah.
Pada 1511-1530 saat pergantian
pucuk pimpinan di Kerajaan Aceh Darussalam dari Sulthan Syansu Syah
kepada puteranya Sulthan Ali Mughayat Syah, perang Aceh dan portugis
memuncak.
Raja Mughayat Syah, terpaksa mengutus adiknya Raja
Ibrahim memimpin perang di perairan Arun untuk membendung Portugis
masuk menguasai pesisir Timur Aceh. Namun naas, Raja Muda itu tewas di
Arun.
Untuk menggantikan pimpinan armada Aceh di Arun, Sulthan
Ali Mughayat Syah mengirim menantu Poteumeureuhom, Raja Unzir yang kala
itu memegang tampuk pimpinan Negeri Daya. Sejak itu Negeri Daya tak
punya raja lagi. Pucuk pimpinan langsung dileburkan ke kerajaan inti
Aceh Darussalam.
Isteri Raja Unzir, Siti Hur kemudian
diperintahkan mengurus roda pemerintahan di Kerajaan Daya sekaligus
menjadi wakil Raja Aceh disana. Pada Bulan Jamadil Awal Tahun 1526,
Raja Unzir pun tewas di Aru.
Pasca Siti Hur mangkat, pemerintah
di Negeri Daya mengalami kemunduran. Ini disebabkan karena karena
seringkali terjadi perang saudara dan percecokan akibat selisih paham
diantara sesama raja yang memperebutkan kekuasaan dan hasil pajak lada.
Hal seperti itu terus terjadi dalam kuran waktu hampir dua abad
lamanya.
Sekitar 1711 sampai 1735, Sulthan Jamalul Alam Badrul
Munir berkuasa di Aceh Darussalam. Pemerintahnya tidak terlalu disukai
oleh para petinggi kerajaan yang berpengaruh di Aceh saat itu. Sang
raja pun tak memperoleh dukungan kuat di kalangan istana.
Untuk
menghilangkan paradigma miring, Jamalul sering melakukan lawatan keluar
daerah untuk mendapat simpati dari raja-raja kecil yang merupakan
kesatuan terpisah di Kerajaan Aceh Darussalam. Sulthan Jamalul yang
bergelar Poteu Jamaloy ini berkeinginan melakukan kunjungan khusus ke
Negeri Daya untuk menertibkan situasi kerajaan yang semraut karena
perang berebut pajak raja.
Untuk memuluskan lawatannya, Poteu
Jamaloy mempelajari tradisi dan adat budaya yang belaku di Negeri Daya.
Akhirnya dia berhasil mempertegas kembali ketentuan “neuduek” awal
yang pernah diprakarsai oleh Poe teumeureuhom.
Mengenang jasa
sang raja, makam Poe teumeureuhom yang berada di perbukitan kecil di
pesisir Desa Gle Jong kini dikeramatkan warga. Setiap hari raya Idul
Adha, banyak warga mengunjungi makam itu untuk berziarah atau melepas
nazar. Berziarah ke makam dipercaya membawa berkah.
Di Lamno,
jejak-jejak masa jaya itu kian sulit dilacak. Dulu banyak peninggalan
kuno seperti porselen dan mata uang dari berbagai kerajaan dunia
ditemukan. Hampir semua peninggalan sejarah itu telah berpindah tangan.
Lamno
kini juga tak lagi dikenal sebagai kota penghasil Lada. Hanya biji
kopi Arabica Lamno yang masih punya nama. Sekarang pemburu Lada telah
berganti dengan para pemburu sarang walet dari gua Teumiga dan gua
Keuluang di bibir lembah Geurutee.
Tsunami 2004 silam juga
membuat Lamno nan masyur tak lagi berjaya karena jembatan penghubung
antar kabupaten di Lambeusoe putus. Sejak enam tahun lalu itu warga
terpaksa menggunakan rakit untuk menyebrang, karena jembatan juga belum
rampung. (kini sudah bisa di lewati lagi)
Bakat raya itu juga
menewaskan 6.000 penduduk Lamno. Gadis bermata biru juga jarang
dijumpai. Kini sepotong legenda mata biru dan kerajaan daya pun seperti
bersembunyi di bibir lembah Geurutee.... dr silsilah Po Temeureuhom
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
sejarah
Label:
sejarah
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
cerita bermanfaat....
BalasHapusterima kasih pak :)
BalasHapus