Langsung ke konten utama

Jalan tanpa ujung... (bagian 1) oleh Darwis Tere Liye pada 16 Agustus 2012 pukul 6:44 ·


"Berhentilah mencari. Maka dengan sendirinya, kita telah tiba di ujung perjalanan. Selamat datang di rumah."

Kalimat bijak ini diajarkan turun-temurun oleh sufi, para bestari, pengelana, orang2 yg telah berhasil menaklukkan dunia. Kalimat bijak ini diucapkan oleh mulut2 yg telah selesai melewati fase meriahnya pesta, dan tiba di ujung keheningan.... Mereka berhenti, tentu saja bukan karena mereka sudah kaya (meski dalam beberapa kasus, ada yang seperti itu), mereka selesai, bukan berarti mereka sudah berkelimpahan... percayalah, perasaan cukup bahkan bisa hadir ke seseorang yang tidak memiliki apapun selain udara yang bebas di hirup, bumi yang bebas dilangkahi...

Apa sebenarnya yang kita cari? Sy bisa saja menuliskan ide ini dengan kalimat2 analog nan indah. Simbolisasi kehidupan. Kisah teladan. Atau apalah yg sejenisnya macam novel-novel itu. Tp kali ini biarlah ditulis dgn pendekatan yg amat kasat-mata sekali. Semoga dengan begitu, bisa meresapkan keheningan di kepala.

1. Kekayaan
Pertanyaannya: Berapa banyak yg kita butuhkan? Dan berapa banyak yg sudah kita miliki?

Boleh sy tahu berapa penghasilan Anda sekarang? 1-2 juta/bulan (jika Anda buruh), atau 3-5 juta/bulan (jika Anda bekerja di salah satu perusahaan besar atau PNS dgn sistem remunerasi). 6-10 juta/bulan (jika Anda sudah memiliki 3-4 tahun pengalaman kerja). 10-15 juta/bulan (jika Anda sudah di level manajer junior atau pangkat sekian-sekian); dan seterusnya hingga 1 s/d 5 milliar per tahun jika Anda sudah berada di posisi partner perusahaan akuntan publik besar, firma konsultansi, direktur sebuah perusahaan dengan ribuan karyawan, atau profesi dokter, lawyer ngetop.

Apa sebenarnya yang kita cari dalam perjalanan tanpa ujung ini? Perjalanan 'pendapatan' seperti itukah yg sedang kita jalani? Karena jika iya, itu kabar buruk buat kita, karena hidup kita sesungguhnya berlari di rute paling lambat utk menjadi orang super-kaya di dunia. sangat2 lambat. rute kita itu bagai siput dibanding jalan tol.

Pemain sepak bola di Inggris, rata2 di gaji 500 juta/minggu. Pemain top mereka seperti Cristiano Ronaldo (sekarang pindah ke spanyol), digaji lebih dari 2 milliar/minggu. Per minggu, bukan per bulan atau per tahun. Bahkan meski kita jadi direktur perusahaan Astra Internasional, butuh 52 tahun hanya untuk menyamai gaji Ronaldo selama 1 musim (9 bulan). Itupun belum termasuk bonus2 yang dia terima. Tom Hanks dibayar 20-30 juta dollar (alias 180 -270 milliar) setiap kali tampil di film. Tiger Wood butuh satu kali kemenangan untuk mengantongi 2 juta USD. Penulis JK Rowling hanya butuh 5 tahun karir kepenulisan sejak Harry Potter meledak untuk berhasil mengumpulkan 300-500 juta poundsterling. Warren Buffet atau milliarder macam Bill Gate, setiap detik uangnya bertambah 5.000 dollar USD. Setiap detik, bukan setiap bulan atau setiap tahun.

Jadi jika di perjalanan tanpa ujung ini yg ingin kita cari adalah kekayaan, maka yg kita kerjakan sekarang: benar2 ada di jalur paling lambaaaat. Celakanya, kita justru menghabiskan waktu dgn lbh banyak chatting, nge-blog, dll pas kerja di kantor. Kita lebih banyak malas2an, ngomel, dsbgnya. Buka excell, atau ambil kalkulator, menurut definisi internasional, kita disebut kaya jika sudah memiliki aset keuangan/non keuangan produktif sebesar 1 juta dollar. Hitung dgn pendapatan kita sekarang, hingga usia kita 70 tahun, apakah angka itu akan tercapai saat kita tua? Ingat, itu asset produktif! bukan dalam bentuk rumah atau mobil.

Akan sungguh menyedihkan, amat mengharukan, jika saat ini kita tahu persis angka 1 juta dollar itu hanyalah mimpi... dan kita juga tdk punya ide sama sekali utk mencari jalan mencapainya (kecuali berharap dpt suami kaya, atau keluarga istri/mertua kaya raya).... kita justeru tetap membuat sumpek, saling menyikut, dan melupakan hal2 yg lebih hakiki dalam hidup.

Saya terkadang sedih dan kasihan, setiap kali ngobrol dgn sopir2 angkutan umum, cleaning service, satpam, guru2... berkeliling di banyak kota, bertemu dgn banyak orang, mendengarkan mereka bicara, mereka justeru nyinyir sekali dgn betapa kecilnya gaji mereka... berkeluh-kesah... duhai, apakah kecilnya pipa rejeki yg kita miliki harus merusak keihklasan, rasa bersyukur atas pekerjaan yg ada? Sudah tidak kaya, kehilangan pahala pula (bahkan mungkin mengundang bala). Duhai, maukah kita menjadi orang yg se-merugi itu?

Baiklah, mereka orang2 yg mungkin tdk berpendidikan, tdk tahu... tapi kita? yg dibesarkan dengan akses utk tahu, utk lbh bijak setiap hari, apakah tetap akan se-nyinyir mereka? Sayang, kan sudah capek2 kerja, tp sia-sia secara dunia dan akherat.... Jika teman kerja kita digaji lbh besar, atau siapalah digaji lbh besar, kenapa tdk nyengir saja, tersenyum, lantas bersyukur.

Karena di titik lain yg lebih menyedihkan: ada orang2 melakukan kejahatan demi uang... Ada yg menyuap, ada yg minta suap... 6 milliar? Angka itu kecil sekali, bahkan tdk cukup utk membeli satu apartemen kelas menengah di Singapore. Menyuap 63 milliar? Angka itu bahkan tdk cukup utk membeli rumah di Hollywood. Korupsi 1,3 T... nah, kalau yg ini baru terasa besarnya. Tapi apakah sebesar itu? Tidak, kawan. Coba bandingkan dgn penghasilan Warren Buffet dan orang2 terkaya di dunia lainnya. Uang 1,3T itu seperti uang seribu rupiah dibandingkan uang satu juta milik mereka.

Itulah kenapa dunia ini diciptakan dgn "ukuran2". Relativitas... Menurut sy, selain 'warna', 'waktu', 'ruang', ciptaan Tuhan yg indah lainnya adalah: relativitas. Kecil di sini, belum tentu kecil pula di sana. Besar di sana, belum tentu besar di sini... Dan, duhai... yg paling elok dari mekanisme relativitas itu adalah: dia dikunci oleh perasaan (bukan oleh ukuran metric, yg dipahami oleh rasionalitas). Ketika perasaan menjadi sumber perbandingan, maka apakah "perasaan-cukup" memiliki korelasi dengan angka2? tentu tidak.

"Berhentilah mencari... maka dengan sendirinya, kita telah tiba di ujung perjalanan. Selamat datang di rumah..."

Mau sejauh mana kita melewati jalan tanpa ujung itu? Sidharta Gautama meninggalkan tahtanya utk memahami hal ini. Orang2 besar di dunia juga melakukan hal yg sama (terlepas dr apa agama mereka). Warren Buffet juga dalam beberapa kasus, mungkin sudah sejak belasan tahun silam berhenti mencari (bacalah biografinya)... Percayalah, ketika kita lega.. ihklas... tulus... merasa berkecukupan, bukan berarti materi itu jd berhenti mendekat... Dalam banyak kasus: sebaliknya! Sungguh kabar baik, apalagi jika kita Muslim dan meyakini kitab suci, sungguh itu kabar baik, bukankah, di sana tertulis indah; bersyukurlah... maka akan Allah tambahkan nikmat itu...

Maka merasa cukuplah, dan kita akan dicukupkan oleh semesta alam... bukan karena otomatis sim-salabim kehidupan kita tiba2 jd cukup.. tp lebih karena perasaan cukup itu membuat beban kehidupan menjadi terasa ringan... Menurut rumus yg saya pahami, maka E (Enjoy/kebahagiaan hidup) itu sama dengan M (merasa) dikali C (cukup) kuadrat, persis rumus Einstein yg terkenal itu. E = m c kuadrat.

Berhentilah mencari.... Maka boleh jadi urusan ini yg justeru mencari kita.

***bersambung
**tidak usah dikomen ya, dicatat baik2 saja, direnungkan. Dan silahkan di repost, copy paste, share kemana2 jika merasa ada manfaatnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk ke Bendungan Brayen, Aceh Besar

Nita Juniarti AcehNews.net –  Bendungan Brayen merupakan hasil dari ekspresi keindahan alam dengan perbuatan manusia. Bendungan ini berada di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh jaraknya sekitar 30 Kilomoter  dari Banda Aceh. Tidak sulit mencarinya, melewati jalur pantai Barat-Selatan, nanti Anda akan menemukan papan bertuliskan  “Wisata Brayen”. Kemudian dari arah pintu masuk tersebut Anda bisa terus berjalan ke lokasi wisata, lebih kurang 100 meter. Ada yang view yang indah saat Anda melintas di jalan masuk tersebut. Jalan lintasan masyarakat kampung yang masih alami ini akan memberi  landscape , sawah tadah hujan dan masyarakat yang berlalu lalang. Jika sedang musim hujan maka harus ekstra hati-hati saat melalui jalan ini. Nita Juniarti-Teman KPM PAR MAheng Biasanya tempat ini dikunjungi oleh keluarga, kaulah muda di hari libur khususnya pukul 15.00 yang paling ramai dikunjungi. Tiket masuknya hanya Rp2.000 per orang dan parkir dengan harga yang sama. Air s

Cerita Film : Jembatan Pensil

Film Jembatan pensil. Latar belakang dari film ini adalah suasana di perkampungan suku Muna, Sulawesi Tenggara. Menariknya, film yang mengangkat kisah Ondeng, si anak berkebutuhan khusus tapi selalu setia pada teman-temannya. Empat sekawan itu bernama Inal, Aska, Nia dan Ondeng berjuang mencari pendidikan dari guru mereka di sebuah sekolah gratis. Inal dan Ondeng sama-sama memiliki kekurangan fisik dan mental. Inal adalah anak tuna netra, sedangkan Ondeng terbelakang secara mental. Keterbatasan yang mereka miliki tak pernah sedikitpun melunturkan niat mereka mencari pendidikan. Ondeng, sangat pintar menggambar. Semua dia gambar salah satu gambarnya adalah jembatan yang sering di lewati oleh teman-temannya. Ondeng rajin sekali menabung, sebab jembatan yang teman-temannya lewati sudah sangat rapuh. Ia ingin menganti jembatan itu. Namun, uang Ondeng belum cukup untuk membuat jembatan malah suatu hari jembatan itu  rubuh saat mereka melintas. Ondeng yang rumahnya lebih jauh dan selal

makalah ISBD : masyarakat Kota dan Desa

MASYARAKAT DESA DAN KOTA D I S U S U N Oleh : Kelompok III KHAIRINA                 (511102479) PARDI                                     (511102485) NURHASANAH         (511002209) FAKULTAS ADAB JURUSAN ASK INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY 201 2 KATA PENGANTAR              Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah. Shalawat serta salam tidak lupa kami limpahkan kepada baginda alam kita           Nabi             Muhammad     SAW. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar dengan judul “Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota”. Makalah ini menjelaskan tentang pengertian dari masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan serta hubungannya antara masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan.              Meskipun banyak hambatan yang kami dapatkan, tidak menjadi penghalang dalam penyusunan makalah ini. Kami ucapkan terima ka