Langsung ke konten utama

POTENSI ARKEOLOGIS DI WILAYAH KABUPATEN ACEH BARAT DAYA

POTENSI ARKEOLOGIS DI WILAYAH KABUPATEN
ACEH BARAT DAYA
Nenggih Susilowati
Balai Arkeologi Medan
Abstract
The cultural development in Aceh Barat Daya district can’t be separated from the
culture influence arround west coast of Sumatra Island. The remaining culture
encountered generally entered historic period, describes the range of human
activities which related to the field of defense, religion, economy in the past. The
data collected with archaeological survey and use inductive approach.
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Selat Malaka adalah selat yang menghubungkan dua pusat kebudayaan terbesar di
Asia, yaitu Cina dan India. Arti penting Selat Malaka sebagai jalur lalu lintas
perdagangan internasional berpengaruh pada beberapa daerah di sekitarnya, maka
tumbuhlah beberapa bandar yang bersaing menjual hasil alam yang merupakan
andalan daerah masing-masing. Beberapa bandar yang sangat terkenal pada masa itu
tersebar baik itu di pantai barat maupun pantai timur Sumatera, seperti Palembang,
Muara Jambi, Labuhan Batu dan Situs Kota Cina. Sedangkan bandar yang terletak di
pantai barat diantaranya adalah Pagaruyung, Barus, Singkil dan lain-lain. Dalam buku
catatan perjalanannya John Anderson menyebutkan beberapa nama bandar di pantai
barat Sumatera yang cukup ramai pada awal abad ke- 19, diantaranya adalah; Bandar
Aceh Darussalam, Lamno/Daya, Meulaboh, Labuhan Haji, Tapak Tuan, Trumon,
Singkil, Barus dan lain-lain (Anderson, 1971).
Kabupaten Aceh Baratdaya, berada di tempat yang secara geografis dan ekonomis
berada pada jalur yang strategis bila dibandingkan dengan daerah lain, di pantai barat.
Hal ini disebabkan karena kabupaten ini dapat mendistribusikan arus barang bagi
daerah-daerah sekitarnya. Secara eksplisit nama Kabupaten Aceh Baratdaya yang
beribukota di Blang Pidie tidak disebutkan dalam sumber-sumber sejarah tetapi,
beberapa lokasi yang pada masa itu merupakan bandar-bandar yang cukup ramai
telah dikenal sejak masa lalu seperti disebutkan di atas, merupakan beberapa nama
lokasi yang terletak di sekitar Kabupaten Aceh Baratdaya. Beberapa komoditi yang
menjadi andalan daerah-daerah tersebut diantaranya adalah lada dan kamper, yang
79
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
sangat diminati pedagang-pedagang asing. Mata dagangan ini berhasil membawa
nama harum daerah tersebut di kancah perdagangan internasional. Peran serta
penguasa pada masa tentu saja sangat menentukan, terutama yang berkaitan dengan
jaminan keamanan dan tersedianya sarana prasarana sehingga perdagangan
internasional tetap berlangsung. Dengan adanya komoditi dagangan yang tersedia
cukup banyak, adanya jaminan keamanan serta tersedianya sarana prasarana yang
memadai maka proses perdagangan akan berlangsung dengan baik. Tulisan ini
berdasarkan hasil kegiatan penelitian yang dilaksanakan di Kabupaten Aceh Barat
Daya pada tanggal 7 Juli 2005 sampai dengan tanggal 23 Juli 2005.
1.2. Permasalahan
Melaui perdagangan terjadi interaksi, tidak hanya pada proses perdagangan itu sendiri
tetapi pada unsur-unsur kebudayaan lainnya sehingga memberikan warna pada
kebudayaan setempat, apalagi proses interaksi tersebut berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup lama, yang tentu saja akan meninggalkan jejak-jejaknya, baik
kebudayaan fisik maupun non fisik. Adapun rumusan permasalahannya adalah
bagaimana bentuk budaya di wilayah itu ?
1.3. Tujuan dan Sasaran
Melalui penelitian kali ini, diharapkan akan diketahui keberadaan tinggalan arkeologis
di wilayah Kabupaten Aceh Baratdaya. Selain itu melalui penelitian kali ini akan
diketahui gambaran mengenai keberadaan Kabupaten Aceh Baratdaya dalam
hubungannya dengan beberapa daerah di sekitarnya yang merupakan bandar-bandar
yang cukup dikenal. Sasarannya adalah dapat dipahami aktivitas budaya yang
tercermin dari tinggalan arkeologis serta lingkungan yang ada.
1.4. Kerangka Pikir dan Metode
Pantai Barat Sumatera merupakan jalur lalu lintas perdagangan masa lalu yang cukup
ramai, hal ini merupakan dampak dari Selat Malaka yang merupakan jalur
perdagangan internasional. Beberapa daerah disebutkan dalam catatan sejarah
sebagai bandar yang besar, diantaranya adalah Lamno/Daya, Meulaboh, Labuhan
Haji, Tapak Tuan, Trumon dan Singkil, yang notabene merupakan daerah-daerah yang
berada di sekitar Kabupaten Aceh Baratdaya yang beribukota di Blang Pidie. Besar
kemungkinan bahwa di daerah tersebut menyimpan tinggalan-tinggalan arkeologis,
mengingat panjangnya kurun waktu perjalanan sejarahnya. Untuk mengetahui jejak80
jejak budaya yang terdapat di Kabupaten Aceh Baratdaya maka tipe penelitian yang
digunakan adalah eksploratif, dengan menggunakan alur penalaran induktif. Data yang
dijaring pada penelitian kali ini diperoleh melalui survei permukaan serta test pit di
beberapa tempat terpilih.
1.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diharapkan dari kegiatan penelitian di wilayah Kabupaten Aceh
Barat Daya adalah terungkapnya potensi sejarah budaya yang terdapat di wilayah
tersebut. Informasi sejarah budaya itu juga dapat meningkatkan rasa kebanggan
masyarakat setempat tentang latarbelakang sejarah budaya yang pernah berlangsung
di wilayah itu. Hasil penelitian ini belum dapat dimanfaatkan secara langsung, namun
setelah penangan lebih lanjut memungkinkan tinggalan arkeologis di wilayah itu
dikembangkan sebagai aset sejarah budaya yang penting bagi perkembangan
pembangunan daerah.
2. Lingkungan dan tinggalan arkeologis
Letak Kabupaten Aceh Baratdaya di bagian barat Pulau Sumatera yang berhadapan
langsung dengan Samudera Indonesia. Secara geografis Kabupaten Aceh Baratdaya
terletak pada posisi 333’ LU -- 407’ LU dan dari 9635’ BT -- 9712’ BT (Dinas
Budpar Aceh Barat Daya, 2003:VI-6). Luas wilayahnya mencapai 2.334,01 Km2, terdiri
dari dataran (43,04%), landai (27,05%), sisanya datar sampai bergelombang. Pada
bagian pedalaman wilayah kabupaten ini memiliki topografis pegunungan yaitu
pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian 200--1.000 meter dpl. (Dinas Budpar
Aceh Barat Daya, 2003:III-3--9).
Sebagian tinggalan arkeologis diantarnya ditemukan di daerah pesisir, sebagian di
daerah perbukitannya. Adapun tinggalan arkeologis yang ditemukan di daerah pesisir
diantaranya:
2.1. Benteng
Pada kegiatan penelitian di Kabupaten Aceh Barat Daya diketahui terdapat tujuh
bangunan berkonstruksi tanah yang berfungsi sebagai benteng atau tempat
pertahanan yang disebut dalam bahasa setempat dengan madat, yakni 6 (enam)
madat di Lamamuda dan 1 (satu) madat di Manggeng. Konstruksinya sederhana,
berupa bangunan dari tanah yang ditinggikan sekitar 1,5 m -- 4 m dari permukaaan
81
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
tanah di sekitarnya yang merupakan rawa-rawa, berdenah bujursangkar, dan di bagian
atasnya dilengkapi dengan tanggul tanah dengan tinggi berkisar antara 0,5 -- 0,7
meter. Kondisi sebagian tanggul tanah madat tersebut sudah mengalami kerusakan,
kecuali yang terdapat di Manggeng. Konstruksinya yang tinggi dibandingkan dengan
permukaan sekitarnya memudahkan untuk mengawasi daerah sekitarnya, selain juga
akan menghasilkan jangkauan penglihatan yang semakin jauh. Bangunan tersebut
menurut informasi juga dilengkapi dengan meriam. Sebagian meriam masih dapat
dijumpai tidak jauh dari madat 1 di Lamamuda dan madat di Manggeng.
Foto 1. Madat di Manggeng
Bangunan tersebut juga dapat disebut dengan benteng, mengingat keletakannya
dibuat dengan posisi berlapis-lapis dan untuk melindungi atau mempertahankan suatu
daerah atau lokasi tertentu dari serangan musuh. Adapun pengertian benteng dalam
kamus besar Bahasa Indonesia adalah bangunan tempat berlindung atau bertahan
dari serangan musuh (Tim Penyusun,1994). Pembangunannya selain dilengkapi
dengan tanggul-tanggul tanah juga di bagian atasnya dipagari dengan pohon bambu
atau pohon nibung, yang diketahui dari beberapa bangunan yang masih ditumbuhi
jenis pohon tersebut di bagian atas tanggul tanahnya.
Keletakan keenam benteng di Lamamuda secara keseluruhan terdapat empat lapisan.
Lapisan pertama terdapat di bagian selatan yaitu madat 1 dan madat 5 posisinya
hampir sejajar, keduanya berjarak 534 m. Di bagian utaranya adalah lapisan kedua
terdapat dua benteng tepatnya berada di bagian tengah dan posisinya hampir sejajar
yaitu madat 2 dan madat 4 berjarak 120 m. Kemudian di bagian utara madat 2 berjarak
sekitar 120 m adalah lapisan ketiga hanya terdapat satu benteng yaitu madat 3.
82
Selanjutnya pada lapisan keempat juga terdapat satu benteng posisinya di bagian
baratlaut madat 3 berjarak 220 m yaitu madat 6.
Keletakan benteng diketahui tidak jauh dari tepi pantai sekarang, hal ini terkait dengan
fungsinya bagi pertahanan keamanan untuk menangkal serangan musuh yang datang
melalui laut. Kemungkinan benteng-benteng ini difungsikan untuk melindungi wilayah
yang dahulu disebut Quallabatte dari serangan musuh yang masuk melalui Samudera
Indonesia dengan kapal. Menilik bentuk tanggul tanah yang umumnya di bagian
selatan (arah ke laut) lebih tinggi dibandingkan dengan bagian utara kemungkinan
selain berfungsi sebagai pelindung juga untuk dudukan meriam. Mencermati posisi dan
kondisi bangunannya, serta perangkat yang melengkapi seperti meriam diketahui
bahwa bangunan tersebut difungsikan khusus sebagai sarana pertahanan. Bangunanbangunan
pertahanan tersebut sengaja ditempatkan sedemikian rupa sehingga
serangan musuh yang datang dari selatan (dari arah laut) dapat terhalang.
2.2. Mesjid
Pada penelitian di Kabupaten Aceh Barat Daya dijumpai Mesjid Pusaka/Al Warasah.
Tidak berbeda jauh dengan mesjid-mesjid lain di Indonesia fungsi mesjid tersebut
selain digunakan untuk shalat, seringkali mesjid juga dijadikan tempat pengajian
(ceramah keagamaan) dan peringatan-peringatan hari besar agama Islam. Tampilan
bangunan mesjid tersebut telah banyak mengalami perubahan baik bahan maupun
elemen-elemen bangunan. Dahulu mesjid ini berkonstruksi kayu, dan menggunakan
atap tumpang. Kini telah menggunakan konstruksi beton dengan atap kubah. Namun
keterkaitan dengan sejarah mesjid lama yang telah ada sebelumnya membuat mesjid
ini cukup menarik untuk ditampilkan.
Informasi pernah ditemukannya mata uang Aceh dengan pertulisan 2 gupang
berangka tahun 1795 di sekitar tiang di bagian selatan pada kedalaman 2,5 m, pada
saat pembangunan pondasi mesjid baru, menggambarkan pemanfaatan situs telah
berlangsung pada masa itu. Hal ini dikaitkan dengan lokasinya yang berada di tepi
pantai Desa Kedai Susoh, serta data historis yang menyebutkan tentang adanya
perdagangan lada di pelabuhan Susoh, temuan tersebut dapat dikaitkan dengan
aktivitas perdagangan yang berlangsung di wilayah itu.
83
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
2.3. Bangunan Indis
Foto 2. Rumah Putih di Desa Pasar Kota Bahagia
Bangunan bergaya Indis tidak banyak dijumpai di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya.
Ciri-cirinya terlihat melalui komponen bangunannya yang merupakan perpaduan antara
unsur Eropa, tradisional, serta unsur tropis. Gaya Indis berkembang sekitar abad ke-
18 -- awal ke- 20. Unsur-unsur itu ditemukan di beberapa bangunan yang digunakan
sebagai perkantoran, rumah toko, dan sebagian rumah-rumah bangsawan setempat.
Melalui arsitekturnya diketahui bahwa bangunan-bangunan bergaya Indis di wilayah
Kabupaten Aceh Barat Daya didirikan sekitar awal abad ke- 20. Arsitektur rumahrumah
bangsawan umumnya lebih megah dibandingkan dengan bangunan yang
difungsikan sebagai perkantoran dan rumah toko. Akan tetapi, jika ditilik dari bahan
maupun beberapa komponen bangunannya tidak jauh berbeda.
Beberapa bangunan rumah dengan arsitektur bergaya Indis antara lain rumah istri I
Raja Qualabatee bernama Teuku Raja Cut Dien, yang disebut Rumah Putih, dan dua
buah rumah Datuk Nja’ Radja bin Teuku Putih. Arsitektur bangunannya jelas
menggambarkan sebagai bangunan yang megah pada masanya. Unsur Eropa terlihat
dari pemanfaatan bahan seperti atap seng, kaca, tegel, dan semen baik pada bagian
anak tangganya maupun tembok semen yang menutupi bagian kolongnya.
Penggunaan anak tangga berbahan semen berdenah seperempat dan setengah
lingkaran, maupun denah persegiempat dilengkapi dengan pagar pendek di sisi kiri
dan kanannya menambah kemegahan bangunan-bangunan tersebut. Salah satu
rumah di kompleks rumah Datuk bagian lantainya bahkan menggunakan tegel bermotif
geometris. Kemegahan rumah-rumah itu menggambarkan bahwa pemiliknya adalah
84
orang yang mampu secara finansial pada masa itu. Penggunaan koridor yang
menghubungkan dengan bagian belakang bangunan juga menjadi ciri arsitektur Eropa.
Unsur tropis diketahui melalui arsitektur bangunan yang menggunakan jendela-jendela
berjumlah banyak dan daun jendela yang cukup lebar, kaca jendela, serta ventilasi
udara pada sebagian dinding bagian atas. Komponen bangunan itu selain berfungsi
untuk memberi sirkulasi udara yang nyaman, juga berfungsi untuk memberi kesan
terang di dalam ruangannya. Demikian juga dengan penggunaan plafond yang tinggi
pada bangunan-bangunannya merupakan salah satu cara menghindari panas di dalam
ruangannya. Ciri tradisionalnya tercermin pada pemanfaatan lantai dan dinding papan
kayu, serta bentuk panggung. Bentuk panggungnya juga berfungsi untuk mencegah
kelembaban.
2.4. Makam
2.4.1. Makam Islam
Manusia memiliki siklus kehidupan yakni lahir, hidup di dunia, dan mati. Kematian
menurut ajaran Islam adalah suatu masa perjalanan manusia menuju pada kehidupan
akhirat. Manakala seorang manusia mati ia akan dikuburkan di dalam tanah. Kemudian
dibuatlah "tanda" bahwa seseorang telah dikubur di tempat tersebut. Tanda itu bisa
berupa gundukan tanah atau diberi batu nisan pada bagian kepala dan kaki, atau
hanya pada bagian kepala saja, yang dikenal dengan sebutan makam. Makam-makam
Islam tergolong lama yang dijumpai pada kegiatan penelitian di wilayah Kabupaten
Aceh Barat Daya antara lain makam Panglima Sikabut, makam Syeh Buntar, beberapa
makam di sekitar madat di Lamamuda, makam-makam di sekitar madat di Manggeng
dan makam di Gua Seumancang. Makam Panglima Sikabut dan makam Syeh Buntar
sudah tidak dapat dikenali bentuknya mengingat sudah mengalami pembongkaran.
Salah satu yang menandai keberadaan makam Syeh Buntar diketahui dari pertulisan
pada prasasti yang merupakan bagian dari makam. Prasasti itu sudah tidak insitu lagi,
namun melalui pertulisan yang menggunakan bahasa Inggris diketahui terdapat
makam seorang tokoh bernama Syeh Buntar (Shewbuntar) yang dimakamkan di Kuala
Batee (Quallabatte). Beberapa makam di sekitar madat Lamamuda menggunakan
nisan-nisan batu alam. Demikian juga makam di sekitar madat di Manggeng dan Gua
Seumancang. Namun di Manggeng makam sudah menggunakan jirat dari bahan batu
yang dihiasi dengan motif geometris di bagian atasnya. Kemudian di Gua Seumancang
makam ditutup dengan batu-batuan berbagai ukuran berdenah persegiempat.
85
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
Tampilan makam-makam berbentuk sederhana menggambarkan keinginan
masyarakat untuk berpegang kuat pada aturan dalam syariah Islam. Cara-cara yang
dianjurkan menurut sunnah Nabi Muhammad, saw., antara lain meninggikan kubur dari
tanah biasa barang sejengkal agar diketahui, menandai kubur dengan batu atau benda
lain di sisi kepala, dan menaruh kerikil (batu-batu kecil) di atas kubur (Rasjid,1989
dalam Soedewo,2005:13).
Selanjutnya penambahan jirat dari batu yang diberi ukiran bermotif geometris sebagai
pelengkap makam seperti makam Islam dekat madat di Manggeng, menggambarkan
adanya ekspresi seni masyarakat yang dituangkan ke dalam obyek tersebut.
Kemudian pemberian prasasti dengan pertulisan berbahasa Inggris pada makam Islam
di Lama muda/ Kuala batte jelas menggambarkan adanya pengaruh budaya yang
dibawa dari luar. Makam-makam dengan keistimewaan tersebut dimaksudkan untuk
membuat makam yang berbeda bagi tokoh yang dihormati, salah satunya Syeh Buntar.
2.4.2. Makam Cina/Bong
Makam-makam Cina dijumpai di Dusun Seumancang, Desa Mata’i. Kompleks makam
ini dibangun pada lahan berkontur relatif tinggi yaitu pada bagian lereng bukit. Salah
satu yang menandai sebagai makam Cina/Bong adalah bagian depan makam terdapat
tempat untuk nisan dan di bagian depannya terdapat altar berbentuk persegiempat
untuk meletakkan sesajian dan dupa. Nisan biasanya diletakkan di bagian tengah dan
pada kedua sisinya diberi hiasan pagar berbentuk lengkung kurawal terkadang pagar
dibentuk sejajar dengan nisan. Bentuk lengkung kurawal biasanya juga menghiasi
bagian atas nisannya.
Bentuk makam-makam Cina di tempat ini cukup beragam. Terutama di bagian
belakangnya ada yang dibatasi dengan pagar pendek berbentuk setengah melingkar
dengan bagian atas terbuka, dan ada yang hanya berupa gundukan tanah seperti
bagian punggung kerbau. Bentuk yang kedua biasanya ditemukan pada makam yang
belum mengalami pemugaran. Ciri-ciri makam yang tidak ditutup semen di bagian
atasnya biasanya dikaitkan dengan Hong Sui, agar rejeki anak cucu dari si mati tidak
tertutup. Informasi lain menyebutkan bentuk makam tertentu juga berkaitan dengan
suku-suku tertentu.
Kompleks makam Cina yang terdapat di Desa Mata’i dari bentuk maupun bahan yang
digunakan dikatagorikan sebagai makam yang masih relatif baru. Berdasarkan
86
informasi tentang makam yang paling tua diperkirakan makam-makam itu sudah ada
sejak tahun 1970 an. Keberadaan makam-makam ini menggambarkan bahwa di
wilayah ini komunitas Cina setidaknya sudah ada di wilayah ini pada awal abad ke- 20.
Gambar 1. Denah sketsa kompleks makam Cina dan Gua Seumancang di Desa Mata’i
2.5. Gua dan Ceruk
Hasil survei pada Kompleks Gua Seumancang diketahui terdapat dua buah ceruk dan
sebuah gua, yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Cot Mancang. Gua atau
ceruk lebih sering dikenal sebagai situs hunian pada masa prasejarah yaitu pada masa
berlangsungnya hidup berburu tingkat lanjut atau juga dikenal dengan budaya
mesolitik. Pada masa itu manusia hidup dengan berburu dan mengumpulkan bahanbahan
makanan yang terdapat di alam sekitarnya. Bentuk alat-alat yang ditemukan
pada situs-situs mesolitik antara lain dibuat dari batu, tulang, dan kulit kerang
(Soejono, 1993). Gua dan ceruk pada masa itu dipakai sebagai tempat persinggahan
atau pengintaian dalam kegiatan berburu, selain sebagai tempat hunian sementara.
Bahkan tidak jarang sebagai tempat beraktivitas dalam keseharian hidup mereka,
seperti mengolah makanan, membuat peralatan, melaksanakan upacara seperti
penguburan, dan tempat mengungkapkan rasa seni melalui goresan atau lukisan pada
dinding-dinding guanya. Namun tidak semua gua atau ceruk dimanfaatkan untuk
kegiatan tersebut. Gua atau ceruk yang digunakan sebagai hunian cenderung memiliki
beberapa ciri yaitu kondisinya tidak lembab, sinar matahari dapat masuk ke dalam gua
atau ceruk, bahan makanan yang dibutuhkan tersedia di sekitarnya, berdekatan
87
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
dengan sumber air, dan tersedianya fasilitas yang diperlukan untuk bergerak lebih
mudah.
Melalui hasil pengamatan terhadap kedua ceruk yang ada di Kompleks Gua
Seumancang, kondisinya kurang memungkinkan sebagai hunian, disebabkan kondisi
kedua ceruk sempit, lembab, dan permukaan berbatu-batu. Selain itu juga karena
mulut ceruk berada pada 3100 (baratlaut) dan 2400 (baratdaya). Selanjutnya gua
Seumancang juga kurang cocok digunakan sebagai hunian mengingat kondisinya
cukup gelap dan lembab akibat kondisi penyinaran kurang. Mulut gua mengarah pada
posisi 2900 (barat), dengan tinggi 3 m dan diameter 3,5. Gua Seumancang mempunyai
dua ruangan, ruangan pertama panjang 20 m, lebar 5 m, dan tinggi 8 m. Di ruangan
pertama yaitu pada bagian tenggara terdapat makam yang dipercaya sebagai lambang
tokoh yang bernama Hasanuddin/Tengku Di Kandih. Makam ini berukuran panjang 4
m, lebar 1,3 m, dan tinggi 40 cm, dengan bagian atasnya terdapat tumpukan batu
dalam berbagai ukuran dalam jumlah banyak dari bahan karst.
Sementara itu sebagian permukaan lantai gua pada ruangan pertama relatif datar,
sirkulasi udara cukup, cahaya matahari bisa masuk ke sebagian ruangan sehingga
dapat dijadikan sebagai tempat berkegiatan. Hal ini dikaitkan dengan keberadaan
makam pada gua tersebut. Disebutkan bahwa makam yang berukuran cukup panjang
ini bukan makam seperti biasanya, melainkan sebagai simbol dari seorang tokoh yang
cukup disegani bernama Hasanuddin/ Tengku Di Kandih. Menurut informasi tokoh
tersebut adalah salah satu pengawal Kerajaan Aceh yang kemudian menginggal dan
dimakamkan di Desa Kila, Nagan Raya. Tokoh itu dipercaya telah menggunakan gua
tersebut sebagai tempat mendekatkan diri pada Allah. Selain makam, keberadaan
batu-batu di dekat makam tersebut juga dipercaya pernah digunakan sebagai alas
sholat dan meletakkan Al Qur”an. Demikian juga dengan pertulisan yang
menggunakan huruf Arab pada sebagian dinding gua. Setidaknya melalui tinggalantinggalan
itu menggambarkan adanya aktivtias yang berkaitan dengan Islam, seiring
dengan informasi tentang seorang tokoh beragama Islam yang pernah tinggal di gua
tersebut.
2.6. Meriam
Keberadaan meriam-meriam kuna di daerah Aceh Barat Daya umumnya sekonteks
dengan benteng pertahanan (madat) yang terdapat di wilayah itu. Jelas fungsinya
88
mendukung keberadaan benteng untuk mempertahankan suatu wilayah tertentu.
Dikaitkan dengan posisi benteng yang umumnya berada di dekat pantai,
menggambarkan sebagai sarana dan prasarana melindungi serangan yang datang dari
arah laut. Tidak mengherankan mengingat pada masa itu wilayah pesisir barat
merupakan jalur perdagangan yang cukup penting.
Meriam merupakan jenis
senjata yang berwujud
tabung metal atau
biasanya terbuat dari baja
atau sejenisnya, dibentuk
melalui proses
pemanasan dan
penempaan, sering
didukung dengan
kendaraan atau binatang
dan digunakan untuk
menembakkan proyektil
(Cove, 1966: 327).
Sebagian kalangan yang membedakan jenis senjata tersebut menjadi dua berdasarkan
ukurannya, yakni meriam (untuk yang berukuran besar) dan lela (untuk yang berukuran
kecil). Sementara dalam Bahasa Inggris terdapat pula beberapa padanan kata meriam
yakni: cannon, ordnance, gun, dan howitzer. Sedangkan bila ditinjau dari lintasan
peluru yang dilontarkannya meriam dapat dibagi menjadi gun (meriam berat), howitzer
(meriam sedang), mortar (mortir), dan small arms/rifle (senapan) (Cayne,1976:514
dalam Riyanto,1994:29). Selama penelitian di beberapa situs purbakala di Aceh Barat
Daya diketahui terdapat 5 buah meriam. Sebuah terdapat di sekitar madat di Dusun
Lama Muda, sebuah di Manggeng, dan 3 buah di depan Kantor Kecamatan Susoh.
Secara morfologis, dua meriam di Dusun Lama Muda dan Manggeng dapat
dimasukkan dalam kategori howitzer yakni meriam kaliber sedang. Keberadaannya di
dekat madat itu dulu berkaitan dengan fungsinya sebagai tempat pertahanan dari
serangan musuh. Meriam kaliber sedang ditempatkan di atas madat, pada bagian
yang menghadap ke arah laut, dimaksudkan agar dapat menjangkau posisi musuh
sebelum mampu mencapai tempat pertahanan tersebut. Kemudian 3 pucuk meriam
Foto 3. Meriam di depan Kantor Kecamatan Susoh
89
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
yang terdapat di halaman depan Kantor Kecamatan Susoh dimasukkan katagori
meriam kecil atau lela, beberapa informasi menyebutkan berasal dari Lama Muda.
Meriam jenis ini biasanya ditempatkan pada kapal atau perahu yang berfungsi sebagai
alat untuk menyerang posisi musuh baik di daratan maupun di permukaan air (dengan
kapal atau perahu lain).
2.7. Prasasti Syehbuntar
Pertulisan pada sebuah lempengan batu yang diletakkan di dekat makam dapat
disebut juga dengan prasasti. Menarik bahwa prasasti seperti ini belum pernah
dijumpai di tempat lain, biasanya jika yang dimakamkan tokoh muslim pada nisan
terdapat pertulisan menggunakan aksara Arab. Pertulisan yang menggunakan bahasa
Inggris menggambarkan bahwa prasasti ini setidaknya dibuat pada masa kolonial.
Diketahui bahwa Inggris juga pernah memasuki wilayah Indonesia ketika itu.
Pertulisan di dalam prasasti menyebut makam Shewbuntar (Syeh Buntar) yang wafat
di Quallabatte 13 April 1824 pada usia sekitar 42 tahun. Pertulisan tersebut isinya juga
memuji tokoh yang dimakamkam sebagai seorang berkepribadian baik, aktif, tekun,
enerjik, ambisius, pekerja keras, pemberani, dan dermawan. Melalui pertanggalan
yang tertulis pada prasasti diketahui bahwa tokoh yang dimakamkan hidup pada tahun
1782 – 1824, yaitu masa kolonial. Melalui prasasti tersebut diketahui bahwa tokoh
Syeh Buntar merupakan tokoh penting dan disegani di wilayah itu. Keberadaan makam
yang letaknya tidak jauh dari madat menggambarkan bahwa tokoh tersebut juga
mempunyai andil sebagai pelaku sejarah berkaitan dengan keberadaan bangunan
tersebut.
2.8. Tinggalan artefaktual
Sejumlah data artefaktual ditemukan di permukaan tanah di sekitar madat di Lama
Muda dan Manggeng, sebagian ditemukan pada test pit di madat 1, Lama Muda.
Tinggalan artefaktual antara lain berupa fragmen keramik Cina (bagian dari mangkuk),
fragmen keramik Eropa, dan tembikar Asia Tengara Daratan (bagian dari guci)
menggambarkan adanya aktivitas perekonomian di wilayah pesisir dengan bangsa
lain. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas perdagangan di Kuala Battee dan pelabuhan
Susoh. Pada masa itu keramik dan tembikar berglasir merupakan komoditi yang umum
diperdagangkan. Kronologi relatif yang didapatkan di tempat tersebut setidaknya
menggambarkan adanya aktivitas yang berlangsung sekitar abad ke- 17--18
90
(martaban) hingga abad ke- 18--19 (Qing). Sebagai catatan melalui fragmen keramik
lainnya diketahui kronologi relatif pada masa-masa sebelumnya, yaitu abad ke- 12--13
(Song Selatan), 13--14 (Yuan), dan 15--16 (Ming). Keberadaan fragmen keramik
dengan kronologi yang lebih tua tidak menutup kemungkinan bahwa bagian pantainya
telah menjadi tempat persinggahan, mengingat keberadaannya pada jalur
perdagangan bandar-bandar besar seperti Samudera Pasai dan Barus. Kemungkinan
lain adalah keramik dari abad-abad sebelumnya merupakan komoditi dagang pada
waktu itu.
Selain itu melalui pecahan kacanya diidentifikasi sebagai botol berleher panjang. Botolbotol
tersebut biasanya merupakan wadah minuman keras, sedangkan mengenai
keberadaannya di madat 1 Kuala Batee relevansinya dengan keberadaan bangsa
Eropa di wilayah ini pada masanya. Melalui pecahan batanya yang berwarna merah
muda dan kuning diidentifikasi sebagai bata-bata dari Eropa. Keberadaan pakupakunya
dapat dikaitkan dengan fungsinya sebagai penyambung komponen bangunan
kayu. Melalui arang setidaknya diketahui adanya aktivitas berkaitan dengan memasak.
Temuan arang ini dapat dikaitkan dengan fragmen gerabah lokal dengan warna
kehitaman di bagian luar/jelaga.
3. Aceh Barat Daya Dalam Kerangka Arkeologi
Secara geografis wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya berada di pantai barat Pulau
Sumatera yang pada masanya merupakan jalur perdagangan internasional. Melalui
catatan sejarah dan penelitian arkeologi pantai barat Pulau Sumatera merupakan jalur
perdagangan yang cukup penting di masa lalu, bahkan sejak abad ke- 9--12 Barus
dengan situs Lobu Tua sudah menjadi bandar perdagangan yang cukup besar pada
masanya (Drakard, 2003: 17). Selanjutnya melalui situs Bukit Hasang menggambarkan
aktivitas yang berlangsung pada akhir abad ke- 13 -- 14 (Perret, 2002: 18). Tentang
kerajaan tertua di Aceh menurut catatan Cina pada 1288, Lan wu li (Lamuri) dan
Sawentala (Samudra) sama-sama mengirimkan utusan ke negeri Cina. Sebelumnya,
sumber Cina abad ke- 12 mencatat bahwa lada merupakan salah satu komoditas
utama dari Samudera Pasai dan Pidie (Roelofsz dalam Ambary, 1998: 128).
Selanjutnya pada abad ke- 16--17, Aceh menguasai perdagangan di pusat-pusat besar
di pantai Sumatera Timur dan barat. Selama periode ini hubungan dagang antara
Barus dan dunia luar terutama dengan pedagang muslim dari India dan Timur Tengah.
Karena hegemoni Aceh, hanya sedikit peluang bagi perdagangan Eropa di pesisir
91
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
barat, dan pada awal abad ke- 17 kapal Belanda dan Inggris yang ingin berkunjung ke
pelabuhan pesisir barat hanya dapat memenuhi keinginannya setelah mendapat izin
dari Aceh. Perdagangan sepanjang pesisir itu juga dipantau oleh wakil-wakil Aceh
yang ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan pantai itu (Drakard, 2003: 19). Nama Barus
masih dikenal sebagai bandar perdagangan hingga abad ke- 19. Beberapa nama
bandar lain di pantai barat Sumatera yang cukup ramai menurut catatan John
Anderson adalah; Bandar Aceh Darussalam, Lamno/Daya, Meulaboh, Labuhan Haji,
Tapak Tuan, Trumon, Singkil, dan lain-lain (Anderson, 1971).
Keberadaan tinggalan arkeologis dan data sejarah menggambarkan wilayah
Kabupaten Aceh Barat Daya pada sekitar abad ke- 18--19 merupakan pelabuhan
dagang yang cukup penting pada masanya. Pelabuhan Kedai Susoh dikenal pada
masa itu dengan lada sebagai komoditi dagang. Adapun pusat perdagangan lada
terdapat di Kuala Batee. Data sejarah juga menyebutkan bahwa pada tahun 1837
Kuala Batee di bawah pimpinan raja Mulay Muhammad atau Sidi Muhammad pernah
diserang oleh angkatan laut Amerika Serikat (Budiman, 2005: 8). Pentingnya daerah
Kuala Batee pada masanya didukung oleh keberadaan tinggalan arkeologis berupa
prasasti, madat dan meriamnya. Melalui prasasti yang merupakan bagian dari makam
Syeh Buntar menggambarkan adanya tokoh penting yang tinggal di Kuala Batee
setidaknya hingga tahun dimakamkannya (1824). Keberadaan benteng pertahanan
atau madat di Kuala Batee beserta tinggalan meriamnya menggambarkan bahwa
pembangunannya dimaksudkan untuk melindungi dari serangan musuh dari arah laut.
Demikian halnya dengan madat di Manggeng yang dibangun tidak jauh dari areal
pantai, pembangunannya juga dimaksudkan untuk kepentingan yang sama. Data
sejarah juga menyebutkan daerah ini juga cukup penting mendukung pusat
perdagangan di Kedai Susoh pada masa itu. Keberadan madat didukung dengan
tinggalan arkeologis berupa meriam juga menggambarkan aspek pertahanan yang
merupakan salah satu unsur penting bagi kelangsungan suatu permukiman. Sumber
tempatan menyebutkan bahwa di Manggeng juga berdiri kerajaan kecil dengan salah
seorang rajanya bernama Datuk Raja Beusa keponakan Sultan Iskandar Muda. Raja
tersebut terbunuh oleh raja dari kerajaan lain yang datang dengan kapal dan berlabuh
di Ujung Manggeng. Setidaknya melalui sumber tersebut diketahui bahwa bagian
pantainya merupakan pelabuhan yang memungkinkan masuknya orang asing di
wilayah ini. Kemudian mengenai kaitannya dengan Sultan Iskandar Muda yang
92
diketahui memerintah pada tahun 1607--1636, menggambarkan aktivitas
pelabuhannya telah ada sejak awal abad ke- 17.
Sejumlah data artefaktual berupa fragmen keramik Cina dan tembikar Asia Tengara
Daratan menggambarkan di Kuala Batee dan Manggeng terdapat aktivitas
perekonomian dengan bangsa lain. Pada masa itu keramik dan tembikar berglasir
merupakan komoditi yang umum diperdagangkan. Kronologi relatif yang didapatkan di
kedua tempat tersebut setidaknya menggambarkan adanya aktivitas yang berlangsung
sekitar abad ke- 17--18 hingga abad ke- 18--19. Sebagai catatan melalui fragmen
keramik lainnya diketahui kronologi relatif pada masa-masa sebelumnya, yaitu abad
ke- 12--13, 13--14, 15--16. Keberadaan fragmen keramik dengan kronologi yang lebih
tua tidak menutup kemungkinan bahwa bagian pantainya telah menjadi tempat
persinggahan, mengingat keberadaannya pada jalur perdagangan bandar-bandar
besar seperti Samudera Pasai dan Barus. Kemungkinan lain adalah keramik dari abadabad
sebelumnya merupakan komoditi dagang pada waktu itu.
Sejumlah objek arkeologis lain seperti makam dan mesjid menjadi bukti aktivitas
manusia bersifat kegamaan yang merupakan refleksi kemajuan peradaban di Aceh
Barat Daya ketika peradaban bercorak Islam mendominasi daerah ini. Salah satu
mesjid yang sejarah berdirinya cukup lama di wilayah ini antara lain Mesjid Al Warasah
di Desa Kedai Susoh. Sedangkan makam-makam umumnya berbentuk sederhana
menggambarkan keinginan masyarakat untuk berpegang kuat pada aturan dalam
syariah Islam. Sebuah makam seperti yang terdapat di Manggeng memiliki jirat batu
yang bermotif hias geometris menggambarkan adanya ekspresi seni masyarakat yang
dituangkan ke dalam obyek tersebut. Makam dengan menggunakan jirat berbahan
batu dan berukir banyak dijumpai pada situs Kompleks makam raja-raja di Banda Aceh
dan Aceh Besar, umumnya disertai dengan nisan batu berukir. Makam-makam dengan
bentuk khusus biasanya diperuntukkan tokoh yang dihormati. Sumber tempatan
menyebutkan bahwa Sultan Iskandar Muda mengirimkan nisan ke ujung Manggeng
untuk makam Datuk Raja Beusa. Kemungkinan yang dimaksudkan adalah makam
dengan menggunakan jirat berbahan batu dan berukir yang letaknya dekat dengan
madat di Manggeng. Demikian halnya makam Syeh Buntar di Kuala Batee yang
dilengkapi dengan prasasti dengan pertulisan berbahasa Inggris. Makam dengan
prasasti ini juga menggambarkan adanya keterpengaruhan dengan budaya luar,
setidaknya melalui bahasa yang digunakan pada prasasti.
93
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
Selanjutnya berkenaan dengan bangunan Indis yang terdapat di wilayah kabupaten ini
menggambarkan keterpengaruhan unsur-unsur yang masuk pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Bangunan-bangunan yang didirikan umumnya mendukung kegiatan
sosial ekonomi pemerintah kolonial Belanda dan masyarakat setempat. Keberadaan
bangunan-bangunan itu mendukung data sejarah yang menyebutkan terbentuknya
struktur pemerintahan pada awal abad ke- 20 di lima daerah (Kuala Batu, Negeri
Susoh, Blangpidie, Lhok Pawoh Utara, dan Manggeng) yang kini menjadi wilayah
Kabupaten Aceh Baratdaya. Pada masa itu kepala negeri di daerah tersebut berada
dibawah controleur Belanda yang mengepalai onderafdeling Tapak Tuan. Pada waktu
itu onderafdeling van Atjeh beribukota di Meulaboh (Budiman, 2005: 8).
Lajunya kegiatan perekonomian pada masa itu juga memungkinkan tumbuhnya pasarpasar
lokal yang didukung dengan ruko (rumah toko) di beberapa tempat. Berdirinya
bangunan-bangunan tersebut tidak lepas dari keberadaan etnis Cina yang biasanya
tinggal di wilayah pecinan yang sekaligus berfungsi sebagai pusat pasar. Keberadaan
etnis Cina paling tidak sudah ada sejak awal abad ke-20 yang diketahui dari makam
Cina/Bong yang terdapat di wilayah ini.
4. Penutup
4. 1. Kesimpulan
Disadari bahwa perkembangan budaya di Kabupaten Aceh Barat Daya tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh kebudayaan yang ada di daerah sekitarnya, terutama
daerah-daerah yang berada di pantai barat Pulau Sumatera. Sisa kebudayaan yang
dijumpai umumnya sudah memasuki masa sejarah, menggambarkan ragam aktivitas
manusia berkaitan dengan bidang pertahanan, keagamaan, perekonomian di masa
lalu. Melalui tinggalan monumentalnya berupa bangunan-bangunan berciri Indis
menggambarkan wilayah ini menjadi bagian penting pada masa pemerintahan kolonial
Belanda. Kemudian keberadaan makam-makam Cina juga menandai etnis Cina sudah
bermukim di wilayah ini pada awal abad ke- 20.
Harus diketahui pula bahwa keberadaan bandar-bandar besar di sekitar Kabupaten
Aceh Barat Daya, yang keberadaannya bermula berabad-abad yang lampau turut
memberikan sumbangan yang sangat besar bagi pertumbuhan dan perkembangannya.
Selain itu posisi Kabupaten Aceh Barat Daya yang berada di jalur lalu lintas laut yang
94
cukup padat, menjadikannya sebagai suatu tempat yang memiliki arti strategis baik
secara ekonomis maupun militer. Jejak aktivitas di masa lalu yang hingga saat ini
masih dijumpai di Kabupaten Aceh Barat Daya merupakan bukti pertumbuhan dan
perkembangannya, sehingga upaya pelestarian sumberdaya arkeologis memiliki arti
penting bagi kebudayaan di wilayah ini.
4.2. Rekomendasi
Keragaman tinggalan arkeologis baik yang bersifat monumental maupun non
monumental di wilayah ini merupakan bukti perjalanan sejarah dan kebudayaan
daerah ini. Keragamannya juga merupakan cerminan beragam aktivitas masa lalu
manusia pendukungnya, mulai dari yang sifatnya profan hingga religius. Diharapkan
hasil penelitian ini dapat dijadikan muatan lokal bagi pengenalan sejarah budaya,
khususnya di Kabupaten Aceh Barat Daya dan menjadi bahan kajian lokal bagi upaya
pembentukan jaridiri daerah.
Kepustakaan
Ambary, Hasan Muarif. 1998. Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam di
Indonesia. Jakarta: P.T. LOGOS Wacana Ilmu
Anderson, John. 1971. Acheen and The ports on The North and East Coasts of Sumatera, with
in introduction by A.J.S. Reid, Kuala Lumpur: Oxford University Press
Budiman, H. Mudji. 2005. “Sejarah Lahirnya Abdya”, dalam Info Abdya. Susoh: Dinas
Keudayaan Pariwisata Informasi dan Komunikasi
Cove, Phillips Baboock (ed.) 1966. Webster’s Third New Dictionary. Massachusetts G. & C.
Merriam
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 2003. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Kabupaten Aceh Barat Daya. Blangpidie
Drakard, Jane. 2003. Sejarah Raja-Raja Barus, Dua Naskah dari Barus. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama & Ecole française d’Extrême-Orient
Perret, Daniel & Heddy Surachman. 2002. Laporan Sementara Penelitian Arkeologi, Situs
Barus – Bukit Hasang. Jakarta: Program Kerjasama Puslit Arkeologi dan Ecole
française d’Extrême-Orient
Riyanto, Sugeng. 1994/1995. “Morfologi dan Aspek-aspek Meriam Kuna (Sumbangan Bagi
Penelitian Meriam Kuno di Indonesia)”, dalam Amerta 15. Jakarta: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional, hal. 26--46
Seno. 2001. “Pembukaan Seuneubok Lada Dan Terbentuknya Kenegerian Di Aceh Timur
(1840-1876)”,dalam Buletin Haba no. 21. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah
dan Nilai Tradisional, hal 26--32
Soedewo, Ery. 2005. “Ragam Bentuk Nisan dan Jirat di Tanjungpinang: Refleksi Sosial, Politik,
dan Budaya di Kawasan Selat Malaka Pada Abad XVI – XIX”, dalam
Berkala Arkeologi Sangkhakala No. 15. Medan: Balai Arkeologi Medan, hal.
11 -- 35
Soejono, R.P. (ed.) 1993. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Balai Pustaka
95
Potensi Arkeologis di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
Soekiman, Djoko. 2000. Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa
(Abad XVIII – Medio Abad XX). Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi Kedua. Jakarta: Depdikbud & Balai Pustaka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk ke Bendungan Brayen, Aceh Besar

Nita Juniarti AcehNews.net –  Bendungan Brayen merupakan hasil dari ekspresi keindahan alam dengan perbuatan manusia. Bendungan ini berada di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh jaraknya sekitar 30 Kilomoter  dari Banda Aceh. Tidak sulit mencarinya, melewati jalur pantai Barat-Selatan, nanti Anda akan menemukan papan bertuliskan  “Wisata Brayen”. Kemudian dari arah pintu masuk tersebut Anda bisa terus berjalan ke lokasi wisata, lebih kurang 100 meter. Ada yang view yang indah saat Anda melintas di jalan masuk tersebut. Jalan lintasan masyarakat kampung yang masih alami ini akan memberi  landscape , sawah tadah hujan dan masyarakat yang berlalu lalang. Jika sedang musim hujan maka harus ekstra hati-hati saat melalui jalan ini. Nita Juniarti-Teman KPM PAR MAheng Biasanya tempat ini dikunjungi oleh keluarga, kaulah muda di hari libur khususnya pukul 15.00 yang paling ramai dikunjungi. Tiket masuknya hanya Rp2.000 per orang dan parkir dengan harga yang sama. Air s

Cerita Film : Jembatan Pensil

Film Jembatan pensil. Latar belakang dari film ini adalah suasana di perkampungan suku Muna, Sulawesi Tenggara. Menariknya, film yang mengangkat kisah Ondeng, si anak berkebutuhan khusus tapi selalu setia pada teman-temannya. Empat sekawan itu bernama Inal, Aska, Nia dan Ondeng berjuang mencari pendidikan dari guru mereka di sebuah sekolah gratis. Inal dan Ondeng sama-sama memiliki kekurangan fisik dan mental. Inal adalah anak tuna netra, sedangkan Ondeng terbelakang secara mental. Keterbatasan yang mereka miliki tak pernah sedikitpun melunturkan niat mereka mencari pendidikan. Ondeng, sangat pintar menggambar. Semua dia gambar salah satu gambarnya adalah jembatan yang sering di lewati oleh teman-temannya. Ondeng rajin sekali menabung, sebab jembatan yang teman-temannya lewati sudah sangat rapuh. Ia ingin menganti jembatan itu. Namun, uang Ondeng belum cukup untuk membuat jembatan malah suatu hari jembatan itu  rubuh saat mereka melintas. Ondeng yang rumahnya lebih jauh dan selal

makalah ISBD : masyarakat Kota dan Desa

MASYARAKAT DESA DAN KOTA D I S U S U N Oleh : Kelompok III KHAIRINA                 (511102479) PARDI                                     (511102485) NURHASANAH         (511002209) FAKULTAS ADAB JURUSAN ASK INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY 201 2 KATA PENGANTAR              Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan kesehatan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah. Shalawat serta salam tidak lupa kami limpahkan kepada baginda alam kita           Nabi             Muhammad     SAW. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Sosial Dasar dengan judul “Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota”. Makalah ini menjelaskan tentang pengertian dari masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan serta hubungannya antara masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan.              Meskipun banyak hambatan yang kami dapatkan, tidak menjadi penghalang dalam penyusunan makalah ini. Kami ucapkan terima ka