OBJEK ARKEOLOGI
MAKAM TEUKU PEUKAN
DISUSUN
OLEH :
NITA JUNIARTI (511102502)
FAKULTAS ADAB INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
JURUSAN
ADAB SEJARAH KEBUDAYAAN
IAIN AR-RANIRY
BANDA ACEH
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Zeegraaf,
tentu nama tersebut tidak asing bagi para pelajar yang mempelajari literature
sejarah. Terlalu banyak yang Zeeraf tulis tentang Aceh pada masa pemerintahan
Hindia Belanda.
Salah
satu tulisan Zeegraf yang memuji semangat fanatisme wilayah Barat Aceh yang
termasuk juga Kabupaten Aceh Barat Daya. Zeegraaf menuliskan : “Di daerah
persisir Barat, jiwa dan semangat juang yang menyala-nyala adalah yang paling
bertahan lama, dan senantiasa terdapat ketegangan yang pada setiap saat
meledak”[1].
Begitu
banyak para pejuang yang mungkin tidak masuk kedalam daftar para pahlawan
Nasional tapi Mereka tetaplah pahlawan yang layak di jadikan panutan dan layak
di tulis biografinya.
B.
Rumusan masalah
Dari
pembahasan diatas peneliti merumuskan masalahnya,yaitu:
1.
Siapa teuku Peukan?
2.
Apakah ada penghargaan yang di berikan
kepadanya sebagai seorang pahlawan di Daerah tempat Ia di makamkan?
3.
Mengapa banyak Orang menyalah gunakan
adanya makam para pahlawan dan mengapa pula banyak remaja yang tidak tau
tentang sejarah Bangsanya?
C.
Tujuan
penelitian
Penelitian
ini berlangsung supaya adanya perubahan yang mengarah kepada perawatan
benda-benda peninggalan sejarah yang layak di jaga, sehingga seluruh lapisan
masyarakat mau untuk berpartisipasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A ASPEK
HISTORIS[2]
Manggeng
sudah ada sejak abat ke-17
menurut literatur beberapa sejarah, jadi bukan bearti manggeng sebuah kecamatan
yang baru-baru Mekar setelah Abdya ada. Dalam donggeng
masyarakat setempat dilukiskan bahwa manggeng berasal dari kata “ma” yang
bearti ibu dalam bahasa Aceh dan ngieng yang bearti melihat. Mulanya yang
menghuni daerah ini kebayakan yang berasal dari Aceh Besar sehingga daerah ini
kebanyakan berbahasa Aceh, kemudian baru dating orang-orang yang hijrah dari
minangkabau. Pendatang baru ini menempati daerah lebih kedaerah pedalaman di
kabupaten Manggeng yang terletak di pasi Manggeng sehingga saat ini di wilayah
tersebut banyak yang berbahasa Aneuk jame. Mulanya daerah ini di kuasai oleh
dua orang uleebalang.
Pada
masa Datuk Beusa menjadi uleebalang Ia mengabungkan uleebalang Bak Weue dengan
ibukota Suak Berembang menjadi satu uleebalang Manggeng yang diperintahnya.
Sesudah bersatu ibukotanya di pindah ke Lamkuta di Tokoh.
Pada masa pemerintahan
Datuk Beusa pula tepat tahun 1812 Manggeng kedatangan pasukan yang dikirim oleh
Sultan Aceh Jauhar Alamsyah untuk menertipkan sikap pembangkang yang tidak
mengirimi bungong jaroe (upeti) kepada Sultan Aceh. Akhirnya dapat
diselesaikan secara damai dan bahkan diberikan hadiah satu meriam untuk
Manggeng.
Datuk
Beusa mangkat dan digantikan oleh anaknya Datuk Muda dan selanjutnya digantikan
oleh Datuk cut Amat dan Datuk Cut Dolah. Pada tahun 1901 Belanda mulai
mencampuri urusan pemerintahan di Manggeng hdan diangkatlah anak Datik Dolah
yaitu T.Raja Geh sebagai uleebalang. Pada masa inilah timbul perlawanan dari
Manggeng terhadap Belanda, ketika massa rakyat yang di pimpin oleh Teungku
Peukan menyerang tangsi militer Blangpidie pada tahun 1926.
Pada
periode selanjutnya, T.Raja Geh digantikan oleh T.Nana, pada masa inilah
Belanda membangun jembatan krung baru yang menghubungkan Kecamatan Kaye Aceh
saat ini dengan Labuhan haji dengan kontraktoe pengusaha Cina sekarang menjadi
perbatasan Aceh Barat Daya dengan Aceh Selatan setelah pemekaran. Jembatan ini
sempat di hancurkan oleh Belanda sendiri saat mereka di kejar oleh pemerintahan
Jepang pada tahun 1942, dengan tujuan memperlambat pengejaran.
Uleebalang
terakhir di Manggeng pada masa pemerintahan Belanda dan pemerintahan Jepang
adalah T.R. Iskandar yang pada awal proklamasi menjadi korban Revolusi social.
Tokoh yang waktu itu sempat di tahan di Banda Aceh ini belum di ketahui dimana
pusaranya. Dari negeri inilah lahir seorang pahlawan yang makamnya dapat di
lihat sampai sekarang.
Setiap
tanggal 10 November yang di peringati sebagai hari pahlawan secara Nasional,
para pejabat di Kabupaten Aceh Barat Daya berdatangan memenuhi ruang sempit
pemakaman di samping mesjid Jami’ tepat di tengah kota Blangpidie di depan Bank
Aceh, tidak jarang para pelajar ikut memadati ruang sempit itu. Namun fenomenal
ini hanya terjadi sekali setahun lalu senyap, dan orang-orang awam menggunakan
makan tersebut untuk melepaskan nazar dengan mencuci muka menggunakan
air yang di letakkan tepat di atas kepala sang pemilik makam. Banyak yang
mengetahui itu kuburan pahlawan namun sangat minim yang mengetahui sejarah
spesifiknya bagaimana.
Kuburan yang terletak tepat di jantung kota Blangpidie
yang setiap 10 November para intelektual mengunjungi dan memberikan peringatan
serta perhormatan yang mendalam lalu setelah itu terbengkalai adalah kuburan
pahlawan Teuku peukan yang telah mengorganisir kaum Muslimin yang di bantu oleh
beberapapanglimanya seperti Guru Cebeh dan Chadem Ambong yang bergerak di
wilayah Suak berembang dan hilir Krung Baru. Pusat latihan mereka lakukan di
gunung sabi yang membentang sampai Krung Baru sekitar satu meter panjangnya.
Gunung sabi adalah gunung yang sangat strategis untuk
aksi geriliya karena di sebelah timur dan selatanya adalah rimba lebat sepanjang
krung baru, sungai ini berhulu di kaki gunung leuser, apabila udara cerah dan
cuaca baik maka puncak gunung leuser sangat jelas terlihat di Krung Baru.
Saat ini Krung Baru dikenal sebagai salah satu wilayah
yang di jadikan tempat wisata, makan-makan di rabu habeh atau makan-makan
menjelang puasa ramadhan. Objek wisata yang digemari oleh para remaja karena
aliran airnya yang tajam dan dalam meski tiap tahun selalu memakan korban.
Krung Baru juga sebagai mata pencarian para tukang batu dan yang mengambil
pasir sebagai benda bebas dari alam.
Pada
bulan September tahun 1926 di Meunasah Ayah Gadeng yang terletak di Desa
manggeng saat ini Teungku Pekan memimpin zikir untuk meminta keselamatan kepada sang pencipta karena
pada waktu fajar mereka akan menyerang tangki belanda di Blangpidie. Dalam
penyerangan tersebut Tgk peukan( makamnya dapat di lihat di depan mesjid Jami’
Blangpidie) .
B ASPEK
ARKEOLOGIS
Adapun di tinjau
dari peninggalannya ini dapat di tinjau dari makamnya. Ada juga bukti sejarah
bahwa Teuku Peukan ini seorang pahlawan yaitu di bangunnya sebuah Tugu
Perjuangan Teungku Peukan Tugu yang terdapat di Kabupaten Aceh Barat
Daya
yang dibangun untuk mengenang Teungku Peukan yang tewas tanggal 11 September
1926 dalam sebuah penyerangan ke Bivak/Tangse Belanda di Blangpidie.
Makam Teuku
Peukan dapat di lihat di depan Mesjid Jami’ Blang pidie tepat di Depan BPD
Aceh cabang kota Blang pidie, nisannya
berasitektur biasa dan sudah di keramik serta di kepalanya di letakkan sejenis
kerang besar yang berisi air, ukuran makamnya sepanjang 1.40 Meter dengan
tinggi 50 cm dan lebar sekitar 1 meter tinggi batu nisanya 40 cm tanpa ukiran,
semuanya sudah biasa seperti makam-makam yang terlihat saat ini. Makam ini
sendiri sudah berumur sekitar lebih kurang 86 tahun(2012-1926) dan makam ini
selalu di kunjungi oleh para pejabat pemerintahan dan sekolah-sekolah setiap
selesai melaksanakan upacara hari pahlawan namun di luar itu makam ini sama seperti
makam lainnya, jarang di rawat dan tidak banyak para remaja yang tau tentang
Teuku pekan serta banyak juga yang menyalah gunakan makam ini sebagai tempat
melepaskan hajat yaitu mencuci muka atau sekedar bermunajat di makam ini.
Galeri foto hasil jempretan
penulis
Asrama Belanda yang terletak di jalan sentral
saat ini menjadi rumah
yang di tempati aparat
militer dan
keluarganya.
Makam tengku Peukan di Jalan sentral depan BPD
menasah Ayah tempat Tengku Pekan memimpin kaum
muslimin berdoa sebelum penyerangan tangki Belanda di Blang pidie. Menasah ini
terletak di kampong Tengoh keca matan Manggeng yang telah beberapa kali di
renovasi
KIRI :
gunung lembah sabil, yang dulunya di gunakan sebagai tempat latihan para
pejuang oleh Teuku peukan.
KANAN : yang di tunjukkan tanda panah adalah
jembatan krung baru, yang pernah di Bom oleh Belanda saat di kejar jepang
sekarang menjadi pusat rekreasi keluarga.
[1]
Thamrin,
H.M. pantai barat Aceh di panggung sejarah. 2009. Banda aceh : badan
arsip dan perpustakaan.
[2] Thamrin, H.M. pantai
barat Aceh di panggung sejarah. 2009. Banda aceh : badan arsip dan
perpustakaan.
Komentar
Posting Komentar