Langsung ke konten utama

FAJAR


Di sisi jembatan beton yang panjangnya 25 meter dengan lebar tiga meter melintasi sungai dengan air yang tidak bisa dibilang jernih. Seorang anak duduk terpaku sambil memengang perutnya, dari penampilan yang lusuh, kulit tidak terawat, serta tidak memakai sandal kadang kala otak kerdirku akan berfikir ia adalah satu dari seribuan pengemis yang bertebaran di negeri ini. Aku mendekat, gadis jalanan yang mulai beranjak dewasa itu mendongkakkan kepalanya dan menatapku, matanya membulat. Raut wajahnya kusut, kepedihan dan kesedihan terpatri tanpa sengaja dari wajahnya.
“Kak, maukah kau membeli ini?” ia menyodorkan sebuah tas rajut padaku.
“Eh… “ aku kaget bukan kepalang.
Ah… aku terlalu terbiasa dengan nada sumbang “beri sedekah sedikit, saya belum makan” dari beberapa pengemis yang sering kutemui.
“Kak… beli? Murah kok”
            Apa yang bisa kulakukan? Aku juga tidak punya uang sepeserpun. Setelah berfikir sejenak tanpa membiarkannya bertanya, aku menarik tangannya, ia kaget sempat meronta tapi aku menang dan berhasil membawanya ke rumahku yang tidak jauh dari jembatan.
“Ini rumah siapa?”
“rumahku”
            Aku menariknya masuk ke rumahku, langkahnya terpatah-patah mengikuti langkahku. Rumahku tidak besar, biasa saja dengan halaman seadaanya. Aku membawanya ke ruang makan, lalu membuka tudung nasi.
“Makanlah, tidak perlu ragu”
            Gadis itu tidak bergeming. Ia memperhatikan segalanya meski gerakannya malu-malu tapi ada kepercayaan diri yang dalam, kemudian dia tersenyum.
“Kak, Aku ini seorang penjual rajutan bukan pengemis dan aku sudah makan”
Aku terhenyak, dari mana gadis ini mendapatkan dialaog?
“Namaku Fajar, ayahku pensiunan kepala sekolah di SD ternama Desa kami. Ibuku seorang ibu rumah tangga yang mempunyai kebiasaan merajut atau membuat beberapa kerajinan tangan, kami juga mempunyai sebuah perusahaan rumah tangga kapan-kapan kakak punya waktu bisa datang melihat-lihat ke rumahku.”
“Nama yang bagus. Fajar yang selalu terbit pagi hari sepertinya.”
            Meski penjelasanya panjang lebar, aku tidak peduli untuk menghindari rasa malu karena aku hanya menilai orang dari penampilan saja, aku menaruh nasi dan menyodorkan padanya.
“Makanlah Fajar, kakak sedih sekali jika Fajar menolak”
            Beberapa menit kemudian, Fajar mengambil nasi yang kusodorkan lalu memakannya pelan setelah membaca doa. Batinku berkecambuk, betapa dosanya aku berprasangka.
“Terima kasih kak” Ucap Fajar
            Aku mengangguk, kutatap matanya dalam-dalam ia mempunyai mata yang indah bewarna abu-abu, meski ada tersisa kesedihan tapi mata itu penuh semangat.
“Ibuku akan marah jika mengetahui aku makan di rumah orang. Ibu juga akan marah jika tau aku mengambil uang lebih saat orang membeli rajutan hanya karena kasihan mereka memberiku uang lebih. Apa yang salah dengan penampilanku kak? Aku tidak ingin orang-orang memandang kasihan padaku kak.”
“Aku… sungguh minta maaf Fajar” lidahku kelu, dia membuatku sadar “don’t jugs a book by a cover”
“Terima kasih kak, saya harus pamit”
“eh… sama-sama Fajar”
            Lalu dengan terburu-buru Fajar pamit dari hadapanku dan tentu saja dari rumah ini. Sebelum kaki kecilnya sempurna meninggalkan halaman rumah, aku refleks memanggilnya.
“Fajar”
            Ia terhenti dan menatapku dengan senyumnya, aku berlari dan segera menumbruknya dengan sejuta perasaan bersalah.
“Fajar, maafin kakak ya”
“Tidak masalah Kak”
“Ajari kakak merajut, katakan pada ibu”
            Beberapa saat kemudian ia mematung, diam mengisi ruang dengar kami. Lalu Fajar terisak, aku tersentak, ada apa dengannya? Aku mencoba menyeka air matanya, aku ingin sekali meredakan tangisnya, membuat ia berbagi denganku, mata beningnya akhirnya dilumuri keseihan. Kupeluk Fajar erat, kubiarkan air matanya membasahi kaos lengan panjangku.
“Sebenarnya ini rajutan terakhir yang dibuat Ibu sebelum ibu meninggal” katanya di sela tangis
            Aku mematung, aku benar-benar membuat kesalahan besar hari ini. Aku benar-benar tidak berguna, bagaimana bisa aku melupakan prinsip hidup lalu sekarang membuat seseorang sedih karenaku berkali-kali, pertama karena kuanggap pengemis, kedua aku tidak membeli rajutannya dan ketiga aku melukai perasaanya dengan menyebut orang yang sudah meninggal, orang yang dicintainya.
            Fajar mengangkat wajahnya, menatapku lekat mata beningnya bersinar, sinar yang terlahir dari jiwanya yang tulus dan tegar.
“Maafkan Fajar kakak yang menangis tadi”

            Ya Tuhan, hatiku pilu memanjat sedikit doa bagaimana anak kecil itu bisa menjadi sangat tegar semoga ia dilindungi dari bait-bait keluh-kesah hidup. Fajar tersenyum teramat manis padaku. Ia melepaskan pelukkan lalu menyeret langkahnya keluar dari halaman rumahku. Ia berlari menjauh, aku menatap punggungnya hingga ia menghilang di tikungan jalan. Dunia anak-anak selalu jujur dan apa adanya tidak ada kepura-puraan, tidak menyembunyikan sesuatu. Aku belajar banyak hari ini, meski ia tidak tau namaku dan aku tidak tau di mana ia tinggal tapi ada yang tidak pernah terbenam dari sebuah cerita, Fajar itu nama guruku hari ini.

Banda Aceh, 24 April 2016
#Tulisan pertama

Komentar

  1. Like sangat mengharukan hingga bisa meneteskan air mata...

    BalasHapus
  2. makasih sudah membaca dan singgah di blog kami :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk ke Bendungan Brayen, Aceh Besar

Nita Juniarti AcehNews.net –  Bendungan Brayen merupakan hasil dari ekspresi keindahan alam dengan perbuatan manusia. Bendungan ini berada di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh jaraknya sekitar 30 Kilomoter  dari Banda Aceh. Tidak sulit mencarinya, melewati jalur pantai Barat-Selatan, nanti Anda akan menemukan papan bertuliskan  “Wisata Brayen”. Kemudian dari arah pintu masuk tersebut Anda bisa terus berjalan ke lokasi wisata, lebih kurang 100 meter. Ada yang view yang indah saat Anda melintas di jalan masuk tersebut. Jalan lintasan masyarakat kampung yang masih alami ini akan memberi  landscape , sawah tadah hujan dan masyarakat yang berlalu lalang. Jika sedang musim hujan maka harus ekstra hati-hati saat melalui jalan ini. Nita Juniarti-Teman KPM PAR MAheng Biasanya tempat ini dikunjungi oleh keluarga, kaulah muda di hari libur khususnya pukul 15.00 yang paling ramai dikunjungi. Tiket masuknya hanya Rp2.000 per orang dan parkir dengan harga yang sama. Air s

Cerita Film : Jembatan Pensil

Film Jembatan pensil. Latar belakang dari film ini adalah suasana di perkampungan suku Muna, Sulawesi Tenggara. Menariknya, film yang mengangkat kisah Ondeng, si anak berkebutuhan khusus tapi selalu setia pada teman-temannya. Empat sekawan itu bernama Inal, Aska, Nia dan Ondeng berjuang mencari pendidikan dari guru mereka di sebuah sekolah gratis. Inal dan Ondeng sama-sama memiliki kekurangan fisik dan mental. Inal adalah anak tuna netra, sedangkan Ondeng terbelakang secara mental. Keterbatasan yang mereka miliki tak pernah sedikitpun melunturkan niat mereka mencari pendidikan. Ondeng, sangat pintar menggambar. Semua dia gambar salah satu gambarnya adalah jembatan yang sering di lewati oleh teman-temannya. Ondeng rajin sekali menabung, sebab jembatan yang teman-temannya lewati sudah sangat rapuh. Ia ingin menganti jembatan itu. Namun, uang Ondeng belum cukup untuk membuat jembatan malah suatu hari jembatan itu  rubuh saat mereka melintas. Ondeng yang rumahnya lebih jauh dan selal

Prasangka

  Meski sudah belajar banyak, meski sudah tau tips ini itu, sungguh tidak mudah bagi seorang perempuan mengatasi perasaannya sendiri, rasanya teramat mustahil baginya setiap kali ia mengalami guncangan perasaan. Jun dan Wi jarang bertengkar, selama LDRan, Dunia yang berada dalam resesi membuat mereka semakin kalut dengan pertahanan masing-masing. Rencana pernikahan harus ditunda, keadaan tidak memungkinkan. Biasanya salah satu dari mereka mengalah agar tidak terjadi pertengkaran hebat, tapi tidak malam itu, mereka sama-sama jenuh.  "Aku capek sekali, berusaha sebisa mungkin  untuk niat baik. Tapi barangkali kau memahaminya berbeda" teriak Jun diseberang sana  "Kalo kau capek : berhentilah" Wi balas berteriak "Cari uang untuk bisa melamarmu siang dan malam, yakinkan Umi, mama, kamu, dan bahkan meyakinkan dirimu juga aku, semuanya harus kulakukan sendiri. Aneh, bukannya kau yang terdengar ingin berhenti" "Dan aku ga pernah ada bersama kau?" "J