Di sisi jembatan beton yang
panjangnya 25 meter dengan lebar tiga meter melintasi sungai dengan air yang
tidak bisa dibilang jernih. Seorang anak duduk terpaku sambil memengang
perutnya, dari penampilan yang lusuh, kulit tidak terawat, serta tidak memakai
sandal kadang kala otak kerdirku akan berfikir ia adalah satu dari seribuan
pengemis yang bertebaran di negeri ini. Aku mendekat, gadis jalanan yang mulai
beranjak dewasa itu mendongkakkan kepalanya dan menatapku, matanya membulat.
Raut wajahnya kusut, kepedihan dan kesedihan terpatri tanpa sengaja dari
wajahnya.
“Kak,
maukah kau membeli ini?” ia menyodorkan sebuah tas rajut padaku.
“Eh…
“ aku kaget bukan kepalang.
Ah…
aku terlalu terbiasa dengan nada sumbang “beri sedekah sedikit, saya belum
makan” dari beberapa pengemis yang sering kutemui.
“Kak…
beli? Murah kok”
Apa yang bisa kulakukan? Aku juga
tidak punya uang sepeserpun. Setelah berfikir sejenak tanpa membiarkannya
bertanya, aku menarik tangannya, ia kaget sempat meronta tapi aku menang dan
berhasil membawanya ke rumahku yang tidak jauh dari jembatan.
“Ini
rumah siapa?”
“rumahku”
Aku menariknya masuk ke rumahku,
langkahnya terpatah-patah mengikuti langkahku. Rumahku tidak besar, biasa saja
dengan halaman seadaanya. Aku membawanya ke ruang makan, lalu membuka tudung nasi.
“Makanlah,
tidak perlu ragu”
Gadis itu tidak bergeming. Ia
memperhatikan segalanya meski gerakannya malu-malu tapi ada kepercayaan diri
yang dalam, kemudian dia tersenyum.
“Kak,
Aku ini seorang penjual rajutan bukan pengemis dan aku sudah makan”
Aku
terhenyak, dari mana gadis ini mendapatkan dialaog?
“Namaku
Fajar, ayahku pensiunan kepala sekolah di SD ternama Desa kami. Ibuku seorang
ibu rumah tangga yang mempunyai kebiasaan merajut atau membuat beberapa
kerajinan tangan, kami juga mempunyai sebuah perusahaan rumah tangga
kapan-kapan kakak punya waktu bisa datang melihat-lihat ke rumahku.”
“Nama
yang bagus. Fajar yang selalu terbit pagi hari sepertinya.”
Meski penjelasanya panjang lebar,
aku tidak peduli untuk menghindari rasa malu karena aku hanya menilai orang
dari penampilan saja, aku menaruh nasi dan menyodorkan padanya.
“Makanlah
Fajar, kakak sedih sekali jika Fajar menolak”
Beberapa menit kemudian, Fajar
mengambil nasi yang kusodorkan lalu memakannya pelan setelah membaca doa.
Batinku berkecambuk, betapa dosanya aku berprasangka.
“Terima
kasih kak” Ucap Fajar
Aku mengangguk, kutatap matanya
dalam-dalam ia mempunyai mata yang indah bewarna abu-abu, meski ada tersisa
kesedihan tapi mata itu penuh semangat.
“Ibuku
akan marah jika mengetahui aku makan di rumah orang. Ibu juga akan marah jika
tau aku mengambil uang lebih saat orang membeli rajutan hanya karena kasihan
mereka memberiku uang lebih. Apa yang salah dengan penampilanku kak? Aku tidak
ingin orang-orang memandang kasihan padaku kak.”
“Aku…
sungguh minta maaf Fajar” lidahku kelu, dia membuatku sadar “don’t jugs a book
by a cover”
“Terima
kasih kak, saya harus pamit”
“eh…
sama-sama Fajar”
Lalu dengan terburu-buru Fajar pamit
dari hadapanku dan tentu saja dari rumah ini. Sebelum kaki kecilnya sempurna
meninggalkan halaman rumah, aku refleks memanggilnya.
“Fajar”
Ia terhenti dan menatapku dengan
senyumnya, aku berlari dan segera menumbruknya dengan sejuta perasaan bersalah.
“Fajar,
maafin kakak ya”
“Tidak
masalah Kak”
“Ajari
kakak merajut, katakan pada ibu”
Beberapa saat kemudian ia mematung,
diam mengisi ruang dengar kami. Lalu Fajar terisak, aku tersentak, ada apa
dengannya? Aku mencoba menyeka air matanya, aku ingin sekali meredakan
tangisnya, membuat ia berbagi denganku, mata beningnya akhirnya dilumuri
keseihan. Kupeluk Fajar erat, kubiarkan air matanya membasahi kaos lengan
panjangku.
“Sebenarnya
ini rajutan terakhir yang dibuat Ibu sebelum ibu meninggal” katanya di sela
tangis
Aku mematung, aku benar-benar
membuat kesalahan besar hari ini. Aku benar-benar tidak berguna, bagaimana bisa
aku melupakan prinsip hidup lalu sekarang membuat seseorang sedih karenaku
berkali-kali, pertama karena kuanggap pengemis, kedua aku tidak membeli
rajutannya dan ketiga aku melukai perasaanya dengan menyebut orang yang sudah
meninggal, orang yang dicintainya.
Fajar mengangkat wajahnya, menatapku
lekat mata beningnya bersinar, sinar yang terlahir dari jiwanya yang tulus dan
tegar.
“Maafkan
Fajar kakak yang menangis tadi”
Ya Tuhan, hatiku pilu memanjat sedikit
doa bagaimana anak kecil itu bisa menjadi sangat tegar semoga ia dilindungi
dari bait-bait keluh-kesah hidup. Fajar tersenyum teramat manis padaku. Ia
melepaskan pelukkan lalu menyeret langkahnya keluar dari halaman rumahku. Ia
berlari menjauh, aku menatap punggungnya hingga ia menghilang di tikungan
jalan. Dunia anak-anak selalu jujur dan apa adanya tidak ada kepura-puraan,
tidak menyembunyikan sesuatu. Aku belajar banyak hari ini, meski ia tidak tau
namaku dan aku tidak tau di mana ia tinggal tapi ada yang tidak pernah terbenam
dari sebuah cerita, Fajar itu nama guruku hari ini.
Banda Aceh, 24 April 2016
#Tulisan pertama
Like sangat mengharukan hingga bisa meneteskan air mata...
BalasHapusmakasih sudah membaca dan singgah di blog kami :)
BalasHapus