Hujan masih
berderai riuh rendah di luar rumah. Pintu-pintu rumah masyarakat desa masih
tertutup rapat, beberapa rumah sudah diberi silang X dengan cat merah, artinya salah satu dari anggota
keluarga rumah itu sudah dicurigai sebagai mata-mata pejuang atau mata-mata
sekutu. Jika tidak hujan tentu matahari bersinar cerah dan gerah, jam dinding
masih menunjukkan pukul 14.00 wib tapi desa sepi seperti mati.
Mae bergegas
mencari tempat berteduh, daun pisang yang digunakan sudah tidak layak pakai compang-camping,
berantakan akibat menembus hujan yang terlampau deras. Ini sudah beberapa hari
sejak Belanda kewalahan menghadapi Jepang yang dibantu
oleh orang Aceh. Peperangan tidak dapat dielakkan. Sekarang Jepang berkuasa di
Aceh, orde berganti, ulama menjadi tangan kanan Jepang. Organisasi
penting yang bersifat rahasia sudah dibentuk dengan nama Kempetai (Polisi
Rahasia Jepang) dan Heiho (Serdadu Bantuan) yang akan membantu Jepang dalam
melawan tentara sekutu.
Mae menghela nafas panjang,
sebenarnya ia sedang sibuk dengan fikirannya,
tidak ada yang berubah dari Desanya, tetap diisi dengan ketakutan, sepi dan
hawa kematian. Meski Belanda sudah diusir kemudian
Jepang datang pula dengan kekejaman dalam kemasan yang berbeda, seumpama seperti
keluar dari mulut buaya dan masuk ke mulut harimau.
Rumah-rumah
bersilang X dianggap sebagai pembantu sekutu dan mata-mata pejuang, malam-malam
menjadi panjang dengan mimpi buruk. Sekolah Rakyat ditutup, banyak anak putus
sekolah. Setiap sore, mobil Jepang masuk Desa kemudian beberapa orang dipilih
lalu dibawa dengan mobil tersebut, kabarnya akan diberikan pekerjaan di Ibu
kota, tapi orang-orang yang pergi tidak pernah kembali lagi apalagi mengirimkan
wesel untuk keluarganya jika memang bekerja tentu ada uang.
Hujan belum
mereda, warung-warung kopi sudah ditinggal penghuninya sejak perang dimulai,
radio Rimba raya menyebarkan isu bahwa perang dunia II sedang meledak di Asia Pasifik
namun suara radio samar-samar tidak sampai frekuensi. Mae mendesah, Desanya
yang permai berubah menyeramkan, sawah-sawah kering tidak ada yang mengelola,
busung lapar, perut buncit adalah fenomena wajar meski terlihat kurang ajar
melihat orang-orang berjalan dengan perut bergaya prenagen.
Hujan hampir
reda, Mae menebus hujan kembali ke rumah. Beberapa laki-laki sudah ada di rumah
panggungnya, rumah dengan atap tumpang sederhana dan semua bahannya dari kayu
hutan nan kokoh diikat dengan sekerat rotan liar. Mereka membuat rapat tentang
pencengahan semakin banyaknya orang yang diambil oleh Jepang.
“Kita harus bertindak, kampung kita akan kehilangan
harta karun berharga jika terus begini. Harta karun berharga, anak-anak kita
yang usia produktif semua diangkut oleh Jepang dan tidak pernah kembali,
bagaimana menurutmu Cik Lah?” Tanya Pang Laot, mukanya merah padam.
“Maaf, Aku terlambat pulang, hujan terlalu deras di
luar” Mae masuk ke rumah setelah salam langsung menjelaskan.
“Silahkan duduk pak Geucik, kami hanya berdiskusi
tipis saja tadi” Ujar Pang Laot
“Aku tadi mensurvey masyarakat, makanan yang tersedia hanya pisang
dan pepaya. Beberapa orang mencoba menjualnya dan membeli beras
Pidie tapi ketika pulang mereka dirampok sehingga
ketika pulang tidak membawa pulang apa-apa.”
Mae membuka percakapan.
“Saat ini kita harus berhati-hati membicarakan mereka,
dinding pun sekarang seolah punya telinga dan menyampaikan kepada mereka” Ujar
Cik Lah hati-hati
“tentu” Mae mengiyakan.
“kutu dan kudis sudah menjadi penyakit lazim sepertinya. Ijek
tungpara sudah tidak dapat mencegah kudis-kudis tersebut Pak
Geucik.
Sekolah
Rakyat sudah dirusak sebagiannya kemarin, anak-anak berlari-lari pulang ke
rumah masing-masing karena takut.” Lapor Agam
Hujan
sudah reda, suara mobil masuk desa mengganggu percakapan singkat itu. Langkah
sepatu terdengar angkuh menghentak ke tanah lalu tentara-tentara Jepang itu
menyebar ke seluruh penjuru Desa. Mae dan teman-temannya bergegas mencoba
sembunyi, namun terlambat.
“brukkkkkk” suara pintu ditendang dari luar.
Mae
ditarik ke luar dengan teman-temannya. Lalu mereka dibariskan di halaman
bersama puluhan laki-laki lain yang didapatkan dari seluruh penjuru Desa.
“kalian harus membeli
holmat pada kaisar” ujar seorang
tentara Jepang berperawakan pendek dan tidak benar mengucapkan huruf “r”.
Semua
orang dipaksa menghadap ke timur dan membungkuk sebagai penghormatan pada
Kaisar yang jauh di negeri matahari terbit. Beberapa orangtua berumur dan mulai
terserang encok terkena pungkulan hingga terjerembab dan berdarah karena tidak
benar membungkuk. Beberapa perempuan yang berwajah lumayan cantik diambil,
dinaikkan keatas mobil. Akhir-akhir ini tidak ada lagi yang suka rela ikut
meski diiming-iming akan diberikan pekerjaan sehingga tentara Jepang mencoba
mengambil jalan pintas dengan kekerasan. Beberapa laki-laki yang tingginya minimal lebih 110 cm, dengan berat badan 45 kg dinaikkan ke mobil. Hari itu, sekitar 150 orang dibawa
ke Silimum markasnya tentara Jepang yang paling dekat dengan Desa Mae.
Mae
selamat, ia sudah kehilangan tangannya ketika pertempuran dengan Belanda dua
tahun silam, lagi pula ia hanya tinggi 90 cm, beberapa teman percakapannya
sudah dibawa, suara mobil menderu meninggalkan desa. Mae bisa bernafas sedikit
meski sedih tidak terkira kehilangan beberapa saudara dan sahabat karib.
“kita harus melawan, cacing tanah yang diinjak saja
melawan. Rumput semakin diinjak ia akan semakin kuat, kita harus melawan dengan
segenap kekuatan yang kita miliki” Mae berteriak lantang.
“Iyaa… kita harus berjuang” kata yang lain
“Udeep beusaree… mati syahid[1]”
teriak seseorang berbadan gempal, keras.
Mereka
berkumpul di rumah Mae dan mempersiapkan segala sesuatu dengan matang untuk
sebuah griliya meski tidak punya persenjataan lengkap. Malam merayap ketika
persiapan hampir rampung, beberapa orang mohon pulang ke rumah, suara azan
tidak terdengar dari meunasah yang hanya berjarak 100 meter, orang-orang takut
berjamaah hingga lebih mementingkan untuk beribadah di rumah masing-masing.
Malam
sempurna turun ketika sepasukan batalion tentara Jepang memasuki Desa, mereka
menyeret Mae dan beberapa orang yang terlibat dalam rencana penyerangan
terhadap Jepang. Anak-anak dan istri mereka yang membela ditembak di tempat.
Rumah-rumah mereka semuanya diberi silang X lalu mobil itu meninggalkan Desa
dalam keadaan sepi dan ketakutan.
*Penulis adalah Nita Juniarti berasal dari Aceh Barat
Daya.
Email : nitajuniarti@rocketmail.com
*Cerpen ini dimuat di tabloid mingguan http://pikiranmerdeka.co/ edisi 122
[1] Hidup bersama…mati
syahid, ini salah satu hadih maja Aceh yang terkenal sebagai pemicu semangat
perjuangan jika memang harus hidup selalu bersama atau mati syahid dalam
mempertahankan agama dan negara, begitulah kira-kira makna ungkapan tersebut.
Komentar
Posting Komentar