Langsung ke konten utama

Kudis


Masa yang tak berawal dan entah kapan berakhir, segalanya menanti dalam gelisahnya jiwa. Ruang kerja yang sepi, Risqi tertegun dalam kehampaan yang mengikat raganya. Di sentuhnya tirai waktu, ini sudah berlalu tiga belas tahun yang lalu sejak kejadian tersebut. Waktu berputar seolah mengelamkan luka basah yang kini menjadi bekas kudis saja tapi tiba-tiba luka kudis itu kembali basah menjadi kudis bergetah.
Foto-foto lelaki itu berserak di lantai ditatap dengan mata nanar oleh Risqi, mata itu sudah lama memerah menyimpan semuanya sendiri. Nama itu jelas masih terpatri diingatannya hingga tahun-tahun melewati lembar kisah hidupnya. Bayang tentang pemilik nama seakan mengikut kemanapun ia pergi, di Pantai, tikungan jalan, bergelantung di dahan pohon-pohon, dan lainnya namun sebenarnya bayang itu tidak penah di sana hanya tersangkut di bulu matanya sehingga tidak pernah tinggal kemanapun ia pergi, meski waktu sudah berlalu tiga belas tahun. Walau didera waktu, ia masih lekat menggingat lekat sosok itu, seperti cinta kadang luka diingat lebih dalam lagi apalagi meninggalkan bekas kudis yang besar.
“cuih…menawarkan diri untuk memimpin negeri ini?” gumamnya dalam kesendirian.
            Ia kembali menatap foto-foto yang berserak di lantai, beberapa mempunyai tulisan visi dan misi “rakyat akan saya sejahterakan, saya berikan gajah dan kuda maka pilih saya tanpa keraguan”, Risqi kembali menyengir sinis menatap foto gambar lelaki berusia empat puluh lima tahun itu.
“Kanda, kenapa melamun saja di sini?” Istrinya entah sejak kapan sudah ada di sampingnya.
“Sedang melihat hasil survey para sarjana Dinda” Kilah Risqi
“Wah.. bukankah ini foto pak Burek?” tanya istrinya
            Ia hanya menyengir tipis, agar istrinya tidak banyak bertanya tentang pekerjaannya. Ia telah menyimpannya sendiri, kisah kudis itu hingga 13 tahun waktu berlalu, tidak diceritakan pada siapapun.
“Kanda, makanlah dulu nanti baru mengurus pekerjaan lagi” Istrinya menatap tumpukan kertas yang mengunung, menyadari suaminya akan lupa makan jika terus menatap kertas-kertas itu.
“Nanti Kanda menyusul Dinda, pergilah dahulu”
            Risqi menyahut sesopan mungkin pada istrinya agar istrinya tidak membaca gejolak emosi dari dalam jiwanya. Istrinya mengangguk lantas pergi meninggalkan Risqi yang pura-pura berkutat dengan kertas-kertas, padahal matanya tidak lepas dari foto “Burek” itu.
            Risqi mencoba mencari rokoknya, tidak ada. Ia sedikit stres sampai harus merokok, itulah kebiasaanya. Rokoknya tidak ada, ia meraih permen, dua bulan lalu ia dan istrinya bertengkar hebat karena anak mereka yang berusia satu bulan mengalami gangguan penafasan akibat keseringan digendong olehnya saat merokok, entah bagaimana ini bisa jadi salahnya namun itulah yang dikatakan dokter itu. Risqi menghela nafas panjang, matanya memerah.
            Tiga belas tahun lalu adalah masa terberat di negerinya, presiden negeri ini terlalu berbaik hati ketika semua rakyat memohon dan mengiba untuk perdamaian dengan suara lantang dan kekuatan besar malah menjadikan negerinya daerah militer, daerah operasi militer. Di mana-mana orang menggunakan senjata dan seragam pengaman negeri, rumah-rumah yang dianggap pemberontak diberi tanda X besar dan catnya bewarna merah, laki-laki sering naik dan turun gunung karena jika saja mereka ketauan ada di rumah ada dua kemungkinan yang akan terjadi : mati atau menjadi budak yang dipukuli, jika bernasib baik akan dijadikan mata-mata untuk kepentingan pihaknya. Setiap hari tank-tank rantai merusak jalan dikirim dari ibu kota. Meski Cut Nyak, presiden tercinta itu berjanji tidak akan ada pertumpahan darah tapi ketakutan dan darah di mana-mana, janji yang cacat tanpa bukti hitam di atas putih.
            Hari itu, tiga belas tahun yang lalu. Risqi dan beberapa teman sebayanya sedang bermain di halaman rumah, tiba-tiba saja sekelompok orang bersenjata datang dan membuat kegaduhan di sana. Risqi ketika itu baru berusia sepuluh tahun, suara senjata di lepaskan, beberapa orang berteriak. Agam, teman Risqi berlari kencang dengan niat berlindung ke rumahnya yang dekat dengan tempat bermain mereka namun malaikat maut yang sudah mengintainya sejak sejam lalu mengambil kesempatan itu, Agam terkena peluru nyasar, ia jatuh bersimbah darah.
            Senjata berhenti berbunyi lima belas menit kemudian, Agam segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah sakit terdekat kewalahan, mereka punya banyak pasien karena peluru nyasar, pasien yang akan melahirkan, pasien terkena penyakit ringan hingga yang berat tapi di sana lebih banyak lagi pasien yang frustasi bahkan hampir gila. Negeri Risqi hanya punya satu rumah sakit dan itu satu-satunya, tidak ada rumah sakit lain yang menangani semua penyakit dari yang waras hingga yang gila. Agam mengap-mengap, nafasnya satu-satu, perawat berlari entah apa yang mereka buat hingga darah Agam ditampung sampai sepanci banyaknya, Risqi bergidik ngeri sambil terus berdoa agar Agam selamat.
            Kekacauan itu terus berlanjut selama tiga jam, orang-orang Desa berdatangan ke rumah sakit, rasa takut mereka bunuh dengan jiwa sosial. Situasi carut-marut, seorang laki-laki berambut panjang dengan tampang mengerikan dan memanggul senjata datang tergesa-gesa, usianya ketika itu kira-kira 32 tahun, masih muda dan gagah.
“Pindah semua, jangan ada yang menagisi keadaan ini, ini hanya selingan di jalan juang yang panjang. Agam hanya akan menjadi pahlawan jika nanti kita sudah makmur dan sejahtera.” Kata lelaki itu, berusaha menengahi kegaduhan dengan ujung senjatanya.
            Risqi jengah apalagi melihat mata Agam sudah fokus ke atas dengan darah yang keluar terus menerus dari bekas lukanya.
“Harus ada yang berkorban dan berjuang untuk kesejahteraan” kata lelaki itu lagi, tidak ada masyarakat yang berkutik, semuanya manut dan adem ayem. Risqi sudah menyerah hingga ia berdoa agar Agam cepat menemui ajalnya tanpa merasakan sakit yang berkepanjangan lagi.
“Burek, apa yang kamu lakukan? Kita semua sedang berusaha menyelamatkan Agam bukan berbesar mulut di sini” Seorang kakek tua berujar sinis, matanya merah saga.
            Risqi meremas jantungnya yang berdegup kencang, setiap kali peristiwa tiga belas tahun lalu itu diputar bagai kaset soak yang masih jernih gambarnya, membuat dadanya sakit, rasanya sesak. Ia memutuskan membakar foto-foto politikus yang ada di kamarnya, ia tidak peduli lagi dengan kontrak miliyaran rupiah untuk kertas-kertas foto itu, terlalu menyesakkan baginya.
            Jiwa Risqi menjadi kurang sehat, hingga tepat hari itu setelah peristiwa tiga belas tahun lalu sebelum semuanya berlalu ia mendatangi Burek.
“Pahlawan hanya akan dianggap pahlawan jika ada yang memperjuangkannya, pahlawan hanya akan menjadi pahlawan jika ia selamat keluar dari perang. Pecundang tidak akan pernah berhenti membual tentang kesejahteraan padahal untuk perutnya sendiri, seperti anjing yang tidak lelah menggonggong untuk sepotong tulang!” itu kata terakhir Risqi ketika menemui orang yang membuat Agam mati tanpa pertolongan 13 tahun lalu.
            Sehari setelah peristiwa 13 tahun lalu akhirnya Risqi mati di ruang kerjanya, diantara tumpukan kertas yang mengunung, membawa bekas kudisnya yang telah meledak dan kembali berdarah dan bernanah.



*Penulis adalah Nita Juniarti berasal dari Aceh Barat Daya.
Tulisan ini dimuat di Tabloid Mingguan Pikiran Merdeka edisi 131 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk ke Bendungan Brayen, Aceh Besar

Nita Juniarti AcehNews.net –  Bendungan Brayen merupakan hasil dari ekspresi keindahan alam dengan perbuatan manusia. Bendungan ini berada di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh jaraknya sekitar 30 Kilomoter  dari Banda Aceh. Tidak sulit mencarinya, melewati jalur pantai Barat-Selatan, nanti Anda akan menemukan papan bertuliskan  “Wisata Brayen”. Kemudian dari arah pintu masuk tersebut Anda bisa terus berjalan ke lokasi wisata, lebih kurang 100 meter. Ada yang view yang indah saat Anda melintas di jalan masuk tersebut. Jalan lintasan masyarakat kampung yang masih alami ini akan memberi  landscape , sawah tadah hujan dan masyarakat yang berlalu lalang. Jika sedang musim hujan maka harus ekstra hati-hati saat melalui jalan ini. Nita Juniarti-Teman KPM PAR MAheng Biasanya tempat ini dikunjungi oleh keluarga, kaulah muda di hari libur khususnya pukul 15.00 yang paling ramai dikunjungi. Tiket masuknya hanya Rp2.000 per orang dan parkir dengan harga yang sama. Air s

Cerita Film : Jembatan Pensil

Film Jembatan pensil. Latar belakang dari film ini adalah suasana di perkampungan suku Muna, Sulawesi Tenggara. Menariknya, film yang mengangkat kisah Ondeng, si anak berkebutuhan khusus tapi selalu setia pada teman-temannya. Empat sekawan itu bernama Inal, Aska, Nia dan Ondeng berjuang mencari pendidikan dari guru mereka di sebuah sekolah gratis. Inal dan Ondeng sama-sama memiliki kekurangan fisik dan mental. Inal adalah anak tuna netra, sedangkan Ondeng terbelakang secara mental. Keterbatasan yang mereka miliki tak pernah sedikitpun melunturkan niat mereka mencari pendidikan. Ondeng, sangat pintar menggambar. Semua dia gambar salah satu gambarnya adalah jembatan yang sering di lewati oleh teman-temannya. Ondeng rajin sekali menabung, sebab jembatan yang teman-temannya lewati sudah sangat rapuh. Ia ingin menganti jembatan itu. Namun, uang Ondeng belum cukup untuk membuat jembatan malah suatu hari jembatan itu  rubuh saat mereka melintas. Ondeng yang rumahnya lebih jauh dan selal

Prasangka

  Meski sudah belajar banyak, meski sudah tau tips ini itu, sungguh tidak mudah bagi seorang perempuan mengatasi perasaannya sendiri, rasanya teramat mustahil baginya setiap kali ia mengalami guncangan perasaan. Jun dan Wi jarang bertengkar, selama LDRan, Dunia yang berada dalam resesi membuat mereka semakin kalut dengan pertahanan masing-masing. Rencana pernikahan harus ditunda, keadaan tidak memungkinkan. Biasanya salah satu dari mereka mengalah agar tidak terjadi pertengkaran hebat, tapi tidak malam itu, mereka sama-sama jenuh.  "Aku capek sekali, berusaha sebisa mungkin  untuk niat baik. Tapi barangkali kau memahaminya berbeda" teriak Jun diseberang sana  "Kalo kau capek : berhentilah" Wi balas berteriak "Cari uang untuk bisa melamarmu siang dan malam, yakinkan Umi, mama, kamu, dan bahkan meyakinkan dirimu juga aku, semuanya harus kulakukan sendiri. Aneh, bukannya kau yang terdengar ingin berhenti" "Dan aku ga pernah ada bersama kau?" "J