Bertelanjang
kaki Inong berlari, tidak peduli bercak-bercak becek membasahi ujung roknya.
Hujan baru saja reda, bau segau masih saja tercium kental. Inong terus berlari,
kakinya terkena batu mulai berdarah namun ia sudah mati rasa, ia terus berlari seperti
kerasukan setan.
Kerumunan
orang di Menasah bertambah ramai sepersekian detik, tidak peduli becek dan
hujan mulai turun gerimis. Panggung besar tergelar di depan Menasah, orang
berpakaian putih dan bertopeng muka sudah di atas panggung, tidak ada yang tau
siapa dibalik jubah itu.
Sembilan
orang laki-laki setengah baya digiring naik, seperti mengiring sapi-sapi ke
perahan. Sembilan laki-laki itu tertunduk malu dan terlihat di wajah mereka
penyesalan panjang.
Nafas tertahan, desahan panjang bercampur dengan bau
gerimis.
Desas-desus
terdengar, sebagian lagi bersiap mengambil kamera untuk mengupdate berita
terkini di media sosial. Inong terengah-engah sampai dikerumunan orang. Ia
menyalib masuk agar berada diurutan paling depan.
“Katanya kasus judi dan minuman keras”
“Padahal itu pakai peci ya, kenapa bisa sampai di
rotan?”
“Kadang rotan di negeri ini tidak bermata Bu”
“Iya benar, tergantung kepada siapa rotan berpihak”
“Kemarin yang pejabat tidak terkena bukan? Padahal ia bermesum
ria”
“Memang seperti itu hukum Bu, tidak runcing terhadap
pembuatnya”
Desas-Desus
terdengar membuat kepala pening. Inong selalu hafal, ia
menghela nafas panjang,
tidak ada yang berubah dari Desanya
meski hukum ini itu dibuat tetap saja kejahatan demi kejahatan timbul, hawa desanya
selalu menjadi hawa ketakutan, hukuman dan kematian.
Sembilan
laki-laki itu di bariskan, muka mereka tertunduk. Laki-laki putih bertopeng
maju. Setelah acara prosesi ini itu akhirnya acara inti dimulai. Satu dari
Sembilan laki-laki itu maju, ia berpeci dan mukanya teduh.
“Agam, kenapa kamu tidak katakan yang sebenarnya?”
batin Inong geram
Seminggu
sebelum eksekusi itu, Agam baru pulang dari rumah pengajian tempat biasanya ia
belajar kitab, ia belajar banyak kitab. Ketika hari naas itu tiba, Agam, adik
kandung Inong bertamu ke rumah temannya Main. Usut punya usut ternyata rumah
Main adalah rumah bordir terselubung di negeri syariah itu. Mereka mengedarkan
ganja dan bermain judi di sana, kadang-kadang pula memanggil perempuan jalanan
untuk menemani mereka, perempuan yang bukan berasal dari negeri ini, sewaannya
murah. Praktek itu tidak pernah tertangkap pada awalnya namun entah bagaimana
akhirnya segalanya terbongkar.
Inong
hafal mati kejadian itu, ia hafal mati setiap kalimat yang diceritakan oleh Agam
dalam tangisannya. Petugas yang mengeledah rumah Main menangkap semuanya dengan
membabi buta, tidak ada klarifikasi, pembelaan diri, semuanya salah.
“Adik saya bukan penjudi, bukan pemabuk ia hanya
terjebak”
“Siapa yang akan percaya? Dia ada di lokasi kejadian
perkara” bentak petugas
“Ia hanya datang menemui teman lamanya. Ia hanya
singah sebentar sebelum kejadian”
“Siapa yang percaya? Jika ia duduk di sana, di hadapan
meja judi lengkap dengan kartu-kartu”
Agam
meringkuk di dalam rumah tahanan setelah kejadian itu, berkali-kali ia
menjelaskan, berkali-kali diberi pemahaman soal kejadian tersebut, berkali-kali
pula pembelaannya di tolak.
“Sudahlah Cut Kak, bukannya memang hukum dibuat untuk
menjerat orang kecil seperti kita? Seperti jaring yang di desain khusus
menangkap ikan-ikan kecil, jaring rapuh yang jika dimasuki ikan besar akan
mudah koyak”
“Tapi, kebenarannya…”
“Sudahlah Cut Kak, bukankah Cut Kak sudah tau ini
jaman edan? Yang salah jadi benar dan yang benar jadi salah”
“Tidak adil !!”
“Sembilan puluh Sembilan…” suara teriakan penghitung
cambukan membuyarkan lamunan Inong.
Sekeliling
panggung sudah ramai dan berdesak-desakan, orang-orang berebut mengambil foto.
Agam tertunduk akhirnya terduduk, tubuh ringkihnya sudah tidak sanggup lagi
menahan rotan yang terus mendarat di punggungnya. Menit-menit berlalu ketika
dunia menjadi hitam dan akhirnya Agam roboh.
“Agam…” Inong berteriak tertahan
Petugas
cambuk menyerahkan cambuk kepada wanita yang terlibat dalam kepanitian cambuk,
amboi… lihatlah perempuan itu saudara-saudara bajunya saja membetuk lekuk
tubuhnya sempurna. Entah kepada siapa sebenarnya rotan itu berpihak! Inong
sudah jatuh tak sadarkan diri sebelum pertayaannya terjawab.
*Penulis adalah Nita Juniarti berasal dari Aceh Barat
Daya.
Email : nitajuniarti@rocketmail.com
*Cerpen ini dimuat di Pikiran Merdeka edisi 128
Komentar
Posting Komentar