PERKEMBANGAN PERADABAN FISIK PADA MASA
DINASTI ABBASYIAH
DISUSUN
OLEH :
NITA JUNIARTI (511102502)
KHAIRINA (511102479)

FAKULTAS ADAB INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI
IAIN AR-RANIRY
BANDA ACEH
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji
syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan
judul “perkembangan peradaban fisik pada masa Dinasti Abbasiyah”. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada dosen
pebimbing mata kuliah Sejarah Peradaban Islam III yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan
makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam III. Makalah ini dianjurkan
untuk dibaca oleh mahasiswa sebagai dasar dan pijakan di masa mendatang, supaya
kita jangan sampai melupakan sejarah.
Tak ada gading yang tak
retak, begitulah adanya makalah ini yang penuh dengan keterbatasan kekurangan.
Dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis
harapkan dari pembaca guna peningkatan dan perbaikan pada pembuatan makalah
mendatang.
Darussalam, 08 Oktober
2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan zaman
sekarang semakin hari semakin maju hal itu tidak terlepas dari sejarah di masa
lalu. Jadi peranan kita sangat penting untuk mempelajari sejarah
apalagi kita sebagai generasi penerus jangan sampai melupakan sejarah.
Kita sebagai orang Islam dan menuntut ilmu di Universitas Islam tentunya
harus paham akan sejarah pendidikan di masa lalu. Hal ini perlu agar kita
mampu menganalisa dan mengambil ibrah dari setiap peristiwa yang pernah
terjadi.
Dengan segala
keterbatasan tim penulis, maka dalam makalah ini tidak akan
dijabarkan satu persatu secara rinci, tapi akan dibahas inti dari perkembangan peradaban fisik pada masa Dinasti Abbasiyah pada waktu itu.
dijabarkan satu persatu secara rinci, tapi akan dibahas inti dari perkembangan peradaban fisik pada masa Dinasti Abbasiyah pada waktu itu.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
rumusan masalah sebagaimana tertuang dalam kata pengantar, meliputi:
1. Bagaimana sejarah perkembangan
peradaban fisik pada masa Dinasti Abbasiyah dan
siapa saja tokoh-tokoh perkembangan
peradaban fisik pada masa Dinasti Abbasiyah pada
masa itu ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan
peradaban fisik pada masa Dinasti Abbasiyah?
Demikianlah sedikit
gambaran mengenai isi makalah ini yang tim penulis buat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PERKEMBANGAN PERADABAN FISIK PADA MASA DINASTI ABBASIYAH
Dinasti Abbasiyah
didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari tahun
132 H (750 M) s/d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan
budaya.
Kalau
dasar-dasar pemerintahan Abbasyiah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abas dan
Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan dinasti ini berada pada tujuh
khalifah sesudahnya. Popularitas daulah Abbasyiah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun Ar-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M). Adapun
kemajuan yang pernah dicapai pada masa pemerintahan dinasti Abbasyiah
diantaranya:
1. Bidang Ilmu
Pengetahuan
Ilmu
pengetahuan pada masa Daulah Bani Abbasiyah terdiri dari ilmu naqli dan ilmu
‘aqli. Ilmu naqli terdiri dari Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam,
Ilmu Tasawuf dan Ilmu Bahasa. Adapaun ilmu ‘aqli seperti : Ilmu Kedokteran,
Ilmu Perbintangan, Ilmu Kimia, Ilmu Pasti, Logika, Filsafat dan Geografi.
2. Bidang
filasafat
Pada
masa ini pemikiran filasafat mencakup bidang keilmuan yang sangat luas seperti
logika, geometri, astronomi. Ya’kub ibn Ishaq al-Kinl-Farabi,Ibn Majah, Ibnu
Tufaildan Ibn Rushd menjelaskan pemikiran-pemikirannya dengan menggunakan
contoh, metamor, analogi, dan gambaran imajinatif.
3. Bidang hukum
Islam
Karya
pertama yang diketahui adalah Majmu’ al Fiqh karya Zaid bin Ali (w.122 H/740
M)yang berisi tentang fiqh Syi’ah Zaidiyah. Hakim agung yang pertama adalah Abu
Hanifah.meskidiangap sebagai pendiri madzhab hanafi,karya-karyanya sendiri
tidak ada yang terselamatkan. Dua bukunya yang berjudul Fiqh alAkbar (terutama berisi
artikel tentang keyakinan) dan Wasiyah Abi Hanifah berisi
pemikiran-pemikirannya terselamatkan karena ditulis oleh para muridnya.
4. Perkembangan
Ekonomi
Perekonomian
Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai macam industri
seperti kain linen di mesir, sutra dari syiria dan irak, kertas dari samarkand,
serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari mesir dan kurma dari iraq.
Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan Negara lain.
Karena
industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung
lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang
dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Perdagangan
dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting. Secara bersamaan
dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa
puncak kejayaan sehingga hubungan perdagangan antara keduanya menambah
semaraknya kegiatan perdagangan dunia.
5. Bidang
Peradaban
Masa
Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban Islam. Khalifah-khalifah Bani
Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan ilmu pengetahuan dengan
mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban sebelumnya untuk
kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di dunai Islam. Para ulama
muslim yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama maupun non agama
juga muncul pada masa ini. Pesatnya perkembangan peradaban juga didukung oleh
kemajua ekonomi yang menjadi penghubung dunia timur dan barat. Stabilitas
politik yang relatif baik terutama pada masa Abbasiyah awal ini juga menjadi
pemicu kemajuan peradaban Islam.
B.
TOKOH YANG BERPERAN DALAM PERKEMBANGAN FISIK DINASTI
ABBASIYAH
Diantara
khalifah yang pernah memegang kekuasan daulah Abbasyiah dan berperab aktif dalam pembangunan peradaban fisik
yaitu :
Abu Ja’far Al-Mansur (137-159 H/754-775 M)
Abu Ja'far
Al-Manshur menjabat khalifah kedua Bani Abbasiyah menggantikan saudaranya Abul
Abbas As-Saffah. Abu Ja'far Al-Manshur adalah putra Muhammad bin Ali bin
Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga saudara kandung Ibrahim Al-Imam
dan Abul Abbas As-Saffah. Ketiganya merupakan pendiri Bani Abbasiyah.
Ketikah Khalifah
Abul Abbas As-Saffah meninggal, Abu Ja'far sedang menunaikan ibadah haji
bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Yang pertama kali dilakukan
Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur setelah dilantik menjadi khalifah pada 136 H/754
M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-jalur
pemerintahan ditata rapi dan cermat, sehingga pada masa pemerintahannya
terjalin kerjasama erat antara pemerintah pusat dan daerah. Begitu juga antara
qadhi (hakim) kepala polisi rahasia, kepala jawatan pajak, dan kepala-kepala
dinas lainnya.
Selama masa
kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur.
Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada
gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan.
Khalifah Abu
Ja'far Al-Manshur sangat mewaspadai tiga kelompok yang menurutnya dapat menjadi
batu sandungan Bani Abbasiyah dan dirinya. Kelompok pertama dipimpin Abdullah
bin Ali, adik kandung Muhammad bin Ali, paman Abu Ja'far sendiri. Ia menjabat
panglima perang Bani Abbasiyah. Kegagahan dan keberaniannya dikenal luas.
Pengikut Abdullah bin Ali sangat banyak serta sangat berambisi menjadi
khalifah.
Kelompok kedua
dipimpin Abu Muslim Al-Khurasani, orang yang berjasa besar dalam membantu
pendirian Dinasti Abbasiyah. Karena keberanian dan jasa-jasanya, ia sangat
disegani serta dihormati di kalangan Bani Abbasiyah. Masyarakat luas banyak
yang menjadi pengikutnya. Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur khawatir pengaruh Abu
Muslim terlalu besar terhadap pemerintahan Bani Abbasiyah.
Kelompok ketiga
adalah kalangan Syiah yang dipimpin pendukung berat keturunan Ali bin Abi
Thalib. Masyarakat luas banyak yang simpati karena dalam melakukan gerakan
mereka membawa nama-nama keluarga Nabi Muhammad Saw.
Setelah berhasil
mengantisipasi kelompok-kelompok yang dapat menjadi batu sandungan
pemerintahannya, Al-Manshur kembali dapat mencurahkan perhatiannya pada
pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Ia adalah orang yang sangat
mencintai ilmu pengetahuan, sehingga memberikan dorongan dan kesempatan yang
luas bagi cendekiawan untuk mengembangkan riset ilmu pengetahuan. Penerjemahan
buku-buku Romawi ke dalam bahasa Arab, yang menjadi bahasa internasional saat
itu dilakukan secara khusus dan profesional. Ilmu falak (astronomi) dan
filsafat mulai digali dan dikembangkan.
Pada awal
pemerintahannya, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur benar-benar meletakkan
dasar-dasar ekonomi dan keuangan negara dengan baik dan terkendali. Oleh sebab
itu, tidak pernah terjadi defisit anggaran besar-besaran. Kas negara selalu penuh,
uang yang masuk lebih banyak daripada uang keluar. Ketika Khalifah Abu Ja'far
Al-Manshur meninggal dunia, harta yang ada dalam kas negara sebanyak
810.000.000 dirham.
Selain
meletakkan pondasi ekonomi, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur juga menertibkan pemerintah
untuk memperkuat kekuasaan Bani Abbasiyah. Penertiban ini dilakukan dalam
bidang administrasi dan mengadakan kerjasama antar pejabat pemerintahan dengan
sistem kerja lintas sektoral.
Khalifah
Al-Manshur juga mengadakan penyebaran dakwah Islam ke Byzantium, Afrika Utara
dan mengadakan kerjasama dengan Raja Pepin dari Prancis. Saat itu, kekuasaan
Bani Umayyah II di Andalusia dipimpin oleh Abdurrahman Ad-Dakhil.
Menjelang
pengujung 158 H, Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur berangkat ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal dunia. Ia wafat
dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya dibawa dan
dikebumikan di Baghdad.
Muhammad Al-Mahdi (775-785 M)
Ketika khalifah
Abu Ja'far Al-Manshur meninggal di tengah perjalanan untuk menunaikan ibadah
haji, Al-Mahdi sedang berada di Baghdad mewakilinya mengurus kepentingan
negara. Di sanalah Al-Mahdi mendengar kabar kematian ayahnya tercinta sekaligus
pengangkatan dirinya sebagai khalifah.
Al-Mahdi dikenal
sebagai sosok dermawan, pemurah, terpuji, disukai rakyat serta banyak
memberikan hadiah-hadiah. Selain itu, ia juga mengembalikan harta-harta yang
dirampas secara tidak benar. Ia lahir pada 129 H. Ada juga yang mengatakan 126
H. Ibunya bernama Ummu Musa binti Al-Manshur Al-Himyariyah.
Al-Mahdi adalah
khalifah pertama yang memerintahkan ulama untuk menulis buku menentang
orang-orang Zindiq dan mulhid (ingkar). Menurut Adz-Dzahabi seperti dikutip
Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’, dialah yang pertama kali membuat
jaringan pos antara Irak dan Hijaz.
Berbeda dengan
pemerintahan ayahnya yang penuh dengan perjuangan melawan berbagai kesulitan
untuk menstabilkan keadaan negara, masa pemerintahan Al-Mahdi bisa dikatakan
masa kejayaan dan kemakmuran. Rakyat dapat hidup dengan tenteram dan damai.
Sebab negara pada waktu itu berada dalam keadaan stabil dan mantap. Keuangan
negara terjamin dan tidak ada satu pun gerakan penting dan signifikan yang
mengancam keselamatan negara.
Pembangunan yang
dilakukan di masa itu meliputi peremajaan bangunan Ka’bah dan Masjid Nabawi,
pembangunan fasilitas umum, pembangunan jaringan pos yang menghubungkan kota
Baghdad dengan kota-kota besar Islam lainnya.
Di antara
kebijakan Al-Mahdi adalah menurunkan pajak bagi golongan kafir dzimmi, juga
memerintahkan pegawai-pegawainya untuk tidak bersikap kasar ketika memungut
pajak, karena sebelumnya mereka diintimidasi dengan berbagai cara agar membayar
pajak.
Pada tahun 159
H, Al-Mahdi mengangkat kedua anaknya, Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid, sebagai
putra mahkota secara berurutan. Pada tahun 169 H, Al-Mahdi meninggal dunia. Ia
memerintah selama 10 tahun. Satu riwayat menyebutkan dia meninggal karena jatuh
dari kudanya ketika sedang berburu. Riwayat lain mengatakan dia meninggal
karena diracun.
Harun Al-Rasyid (170-194 H/786-809 M)
Harun Ar-Rasyid
adalah khalifah kelima Daulah Abbasiyah. Ia dilahirkan pada Februari 763 M.
Ayahnya bernama Al-Mahdi, khalifah ketiga Bani Abbasiyah, dan ibunya bernama
Khaizuran.
Masa
kanak-kanaknya dilewati dengan mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu
pemerintahan. Guru agamanya yang terkenal pada masa itu adalah Yahya bin Khalid
Al-Barmaki.Harun Ar-Rasyid diangkat menjadi khalifah pada September 786 M, pada
usianya yang sangat muda, 23 tahun. Jabatan khalifah itu dipegangnya setelah
saudaranya yang menjabat khalifah, Musa Al-Hadi wafat. Dalam menjalankan roda
pemerintahan, Harun Ar-Rasyid didampingi Yahya bin Khalid dan empat putranya.
Daulah Abbasiyah
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, seorang
khalifah yang taat beragama, shalih, dermawan, hampir bisa disamakan dengan
Khalifah Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah. Jabatan khalifah tidak
membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya
untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi
dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan
bantuan.
Pada masa itu,
Baghdad menjadi mercusuar kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya
di dunia pada abad pertengahan. Daulah Abbasiyah pada masa itu, mempunyai
wilayah kekuasaan yang luas, membentang dari Afrika Utara sampai ke Hindukush,
India. Kekuatan militer yang dimilikinya juga sangat luar biasa.
Khalifah Harun
Ar-Rasyid mempunyai perhatian yang sangat baik terhadap ilmuwan dan budayawan.
Ia mengumpulkan mereka semua dan melibatkannya dalam setiap kebijakan yang akan
diambil pemerintah. Perdana menterinya adalah seorang ulama besar di zamannya,
Yahya Al-Barmaki juga merupakan guru Khalifah Harun Ar-Rasyid, sehingga banyak
nasihat dan anjuran kebaikan mengalir dari Yahya. Hal ini semua membentengi
Khalifah Harun Ar-Rasyid dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari
ajaran-ajaran Islam.
Pada masa
Khalifah Harun Ar-Rasyid, hidup juga seorang cerdik pandai yang sering
memberikan nasihat-nasihat kebaikan pada Khalifah, yaitu Abu Nawas.
Nasihat-nasihat kebaikan dari Abu Nawas disertai dengan gayanya yang lucu,
menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Suasanan negara
yang aman dan damai membuat rakyat menjadi tenteram. Bahkan pada masa
pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan
zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata. Di
samping itu, banyak pedagang dan saudagar yang menanamkan investasinya pada
berbagai bidang usaha di wilayah Bani Abbasiyah pada masa itu.
Setiap orang
merasa aman untuk keluar pada malam hari, karena tingkat kejahatan yang minim.
Kaum terpelajar dan masyarakat umum dapat melakukan perjalanan dan penjelajahan
di negeri yang luas itu dengan aman. Masjid-masjid, perguruan tinggi,
madrasah-madrasah, rumah sakit, dan sarana kepentingan umum lainnya banyak
dibangun pada masa itu.
Khalifah Harun
Ar-Rasyid juga sangat giat dalam penerjemahan berbagai buku berbahasa asing ke
dalam bahasa Arab. Dewan penerjemah juga dibentuk untuk keperluan penerjemahan
dan penggalian informasi yang termuat dalam buku asing. Dewan penerjemah itu
diketuai oleh seorang pakar bernama Yuhana bin Musawih.
Bahasa Arab
ketika itu merupakan bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di
sekolah-sekolah, perguruan tinggi, dan bahkan menjadi alat komunikasi umum.
Karena itu, dianggap tepat bila semua pengetahuan yang termuat dalam bahasa
asing itu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Khalifah Harun
Ar-Rasyid meninggal dunia di Khurasan pada 3 atau 4 Jumadil Tsani 193 H/809 M
setelah menjadi khalifah selama lebih kurang 23 tahun 6 bulan. Seperti ditulis
Imam As-Suyuthi, ia meninggal saat memimpin Perang Thus, sebuah wilayah di
Khurasan. Saat meninggal usianya 45 tahun, bertindak sebagai imam shalat
jenazahnya adalah anaknya sendiri yang bernama Shalih.
Daulah Abbasiyah
dan dunia Islam saat itu benar-benar kehilangan sosok pemimpin yang shalih dan
adil, sehingga tak seorang pun yang teraniaya tanpa diketahui oleh Khalifah
Harun Ar-Rasyid dan mendapatkan perlindungan hukum yang sesuai.
Al-Ma’mun (198-318 H/813-933 M)
Abdullah
Al-Makmun bin Harun Ar-Rasyid (813-833 M) mulai memerintah Bani Abbasiyah pada
198-218 H/813-833 M. Ia adalah khalifah ketujuh Bani Abbasiyah yang melanjutkan
kepemimpinan saudaranya, Al-Amin.
Untuk mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan saat itu, Khalifah Al-Makmun memperluas Baitul
Hikmah (Darul Hikmah) yang didirikan ayahnya, Harun Ar-Rasyid, sebagai Akademi
Ilmu Pengetahuan pertama di dunia. Baitul Hikmah diperluas menjadi lembaga
perguruan tinggi, perpustakaan, dan tempat penelitian. Lembaga ini memiliki
ribuan buku ilmu pengetahuan.
Lembaga lain
yang didirikan pada masa Al-Makmun adalah Majalis Al-Munazharah sebagai lembaga
pengkajian keagamaan yang diselenggarakan di rumah-rumah, masjid-masjid, dan
istana khalifah. Lembaga ini menjadi tanda kekuatan penuh kebangkitan Timur, di
mana Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan dan puncak
keemasan Islam.
Sayangnya,
pemerintahan Al-Makmun sedikit tercemar lantaran ia melibatkan diri sepenuhnya
dalam pemikiran-pemikiran teologi liberal, yaitu Muktazilah. Akibatnya, paham
ini mendapat tempat dan berkembang cukup pesat di kalangan masyarakat.
Kemauan Al-Makmun
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tidak mengenal lelah. Ia ingin menunjukkan
kemauan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan filsafat tradisi Yunani. Ia
menyediakan biaya dan dorongan yang kuat untuk mencapai kemajuan besar di
bidang ilmu. Salah satunya adalah gerakan penerjemahan karya-karya kuno dari
Yunani dan Syria ke dalam bahasa Arab, seperti ilmu kedokteran, astronomi,
matematika, dan filsafat alam secara umum.
Ahli-ahli
penerjemah yang diberi tugas Khalifah Al-Makmun diberi imbalan yang layak. Para
penerjemah tersebut antara lain Yahya bin Abi Manshur, Qusta bin Luqa, Sabian
bin Tsabit bin Qura, dan Hunain bin Ishaq yang digelari Abu Zaid Al-Ibadi.
Hunain bin Ishaq
adalah ilmuwan Nasrani yang mendapat kehormatan dari Al-Makmun untuk menerjemahkan
buku-buku Plato dan Aristoteles. Al-Makmun juga pernah mengirim utusan kepada
Raja Roma, Leo Armenia, untuk mendapatkan karya-karya ilmiah Yunani Kuno yang
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Selain para
pakar ilmu pengetahuan dan politik, pada Khalifah Al-Makmun muncul pula sarjana
Muslim di bidang musik, yaitu Al-Kindi. Khalifah Al-Makmun menjadikan Baghdad
sebagai kota metropolis dunia Islam sekaligus pusat ilmu pengetahuan, pusat
kebudayaan, peradaban Islam, dan pusat perdagangan terbesar di dunia selama
berabad-abad lamanya.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ø Dinasti
Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah
ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang,dari
tahun 132 H (750 M) s/d 656 H (1258). Selama dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, dan budaya.
Ø Adapun
kemajuan yang pernah dicapai pada masa pemerintahan dinasti Abbasyiah
diantaranya: Bidang
Ilmu Pengetahuan, Bidang
filasafat, Bidang
hukum Islam, Perekonomian
Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai macam industri
seperti kain linen di mesir, sutra dari syiria dan irak, kertas dari samarkand,
serta berbagai produk pertanian seperti gandum dari mesir dan kurma dari iraq.
Hasil-hasil industri dan pertanian ini diperdagangkan ke berbagai wilayah
kekuasaan Abbasiyah dan Negara lain.
Ø Ada beberapa khalifah yang berperan aktif dalam
perkembangan fisik ini misalnya Abu Ja’far Al-Mansur
(137-159 H/754-775 M), Muhammad
Al-Mahdi (775-785 M), harun
ar-rasyif dan lain-lain.
B. SARAN
Ø Mahasiswa
dapat memahami apa peninggalan
fisik pada masa Abbasiyah
Ø Tau
siapa tokoh yang membuat perubahan tersebut
dan mengambil pelajaran dari hal tersebut.
Daftar
Pustaka
Su’ud Abu, Islamologi, Cet. I,
(Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2003)
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam,
(Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2010)
Abu Bakar, Istianah. Sejarah
peradaban islam. (Malang :UIN-Malang Press : 2008)
Komentar
Posting Komentar