Langsung ke konten utama

Lari-lari di Bandara Kuala Lumpur


 Tiket melambung tinggi untuk perjalanan domestik, lima hari sebelum keberangkatan email panggilan wawancara kerja tahap dua masuk. Saya, yang konon pengen move on dan pengen merantau untuk belajar lagi akhirnya memutuskan untuk mencari cara agar bisa ke ibu kota. Bukan tidak betah dengan kerjaan sekarang tapi dalam jiwa saya ingin mencari pekerjaan sekaligus yang bisa mengantarkan saya kuliah suatu hari nanti. Tekad sudah ada, niat dipertebal, ibu mengizinkan, bismillah. Tanya sana-sini harga tiket, tetap tidak murah akhirnya memutuskan untuk mengambil perjalanan ke luar negeri dulu baru kembali ke Indonesia. Pasalnya, harga tiket ke luar negeri dulu dengan langsung dalam negeri bedanya sampai 400 ribuan dan waktunya juga cuma beda satu jam. Jika dari kampung untuk sampai ke Ibukota 4 jam maka dengan transit di luar negeri 5 jam. Sehari sebelum berangkat, dibantu kak Lia istrinya bang Taufik akhirnya perjalanan sendirian ke luar negeri (singgah sebentar) dilakoni.Deg-degkan saat menuju pesawat, meninggalkan bandara Sultan Iskandar Muda. Duh, Macam-macam pernyataan bersarang dalam kepala. Deg! Tiba-tiba ingat sama ucapan ustad yang cukup membekas di hati "Allah di sini dengan di sana sama saja" bismillah, lahaulawalaquwwataillabillah. Jalan terus, nyari kursi dan mendengar pramugari berceloteh dalam bahasa Melayu.
"ternyata begini penerbangan luar negeri"

Penerbangan tanpa hambatan hingga saat diberitakan bahwa hampir sampai, pesawat akan mendarat kembali ke khawatiran menjelma dalam jiwa.
Saat turun, ikuti orang-orang berjalan. Saat ada yang berbahasa Aceh cus samperin, bertanya di mana imigrasi. 

Awalnya salah karena pergi ke arah transfer penumpang, di sana hanya dilayani buat yang pesawat langsung tapi hanya transit. Usut punya usut ternyata tiket punyaku memang tiket ke Kuala Lumpur bukan transit. Duh, jadinya aku harus lapor dua kali ke migrasi, masuk ke negara Malaysia dan keluar dari negara Malaysia. Kepanikan yang amat sangat itu, membuatku berlari mengikuti orangtua yang kutanya mereka akan ke migrasi.

Tara... Antrian di Migrasi ternyata di luar perkiraan, panjang sekali. Saat berusaha bercerita dengan orang yang dekat sok-sok an pakai bahasa indonesia karena mengira itu orang Indonesia eh ternyata dia membalas pakai bahasa Arab. Duh! Akhirnya pakai bahasa Inggris dan dia menunjukan jalan. Kubaca lagi WA dari kak Irda tentang petunjuk bandara Malaysia. 
Antrian panjang di Migrasi lumayan mengundang bosan buat jadi tamu, coba-coba bercakap lagi dengan ibu-ibu yang sepertinya wajahnya tidak asing.
"hendak kemana bu?"
"Jakarta"
"Penerbangan jam berapa?"
"5 Sore, adik hendak kemana?"
"Jakarta tapi penerbangan jam 2 siang waktu Indonesia bagian barat bu"
"sendirian?"
"iya bu"
"berani sekali, nekad. Sudah pernah keluar negeri?"
"belum bu"
"kok berani?"
"entahlah bu"
"harus cepat itu, sudah tidak lama lagi penerbangannya. Begitu selesai di stempel langsung lari dulu ke Imigrasi keluar dari negara Malaysia"
"Baik bu, nanti saya harus kemana ya? Lurus saja dari imigrasi ini"
Khawatir? Jelas. Tapi mau bagaimana lagi?  Bukankah saat mengambil keputusan itu artinya siap dengan segala resiko? Bismillah. Setelah antrian beberapa lama, ternyata petugasnya ramah dan memberitahukan arah kemana lagi. Jadilah segala urusan mudah dan tinggal cetak boarding pas. Antri lagi? Jelas. Negara ini sepertinya sudah terbiasa dengan antrian. 5 orang di depan saya adalah orang luar negeri, bahasa di Self Check in itu berbahasa Cina. Duh, mulai panik lagi.
Saat tinggal satu antrian, gerak cepat bertanya pada orang disebelah yang berperawaka melayu.
"Bu, bisa bantu saya untuk cetak boarding pas?"
"tidak bisa di sini, karena yang lain antri" jawabnya dalam logat melayu
"baiklah"
Bismillah, lahawlawalaquwwataillabillah. Yakin saja, Allah bantu. Begitu giliran saya ngantri, baru mau ngeluarin paspor eh si ibu tadi nyamperin.
"jadi saya bantu?"
"boleh bu"
Sigap siibu memasukkan kode booking dan lain sebagainya keluarlah si boarding pas ini dan ia bertanya lagi.
"ada bagasi tak?"
"tidak bu, terima kasih ya"
Si ibu berlalu pergi tanpa saya tau namanya. Masya Allah, bukankah perjalanan itu selalu menyisakan satu keyakinan bahwa benar Allah ada di mana-mana?
Setelah itu kembali berjalan cepat kali ini tidak berlari karena melihat waktu tampaknya bisa jalan sebab hanya mencari pintu masuk untuk naik ke pesawat. Bertanya sana sini dan dapat! Pintu Q11. Masya Allah luas sekali bandara ini. Di pintu scanning saat terdeteksi botol minum petugasnya, tegas mengatakan :
"mau dihabiskan atau dibuang? Jika buang di luar" 
"habiskan pak" 
"sekarang, di sini" 
Duh, terpaksa duduk dan menghabiskan minuman dulu, si petugas mengamati sambil berbincang dalam bahasa melayu dengan temannya tentang orang Jepang yang juga bawa minuman kemasan, bermerk pula. 
"sudah pak" 
"oke, boleh pergi puan" 
Lalu saya lari-lari lagi sampai ruang tunggu Q11 dan ternyata pintu tertutup. 
"duh, pintunya tertutup sudah. Lewat mana ya bu" tanya saya pada ibu setengah baya. 
"penerbangan jam berapa?" 
"jam 2 bu" 
"masih satu jam lagi" kata ibunya
Saya melirik jam tangan yang saya pakai sudah jam 12 lewat artinya sudah jam 13 di Malaysia. 
"ya Allah bu, saya lari-lari" 
"Pesawat 201 kan? Saya juga ke Jakarta"

Akhirnya mengobrol dengan ibu yang saya lagi-lagi lupa bertanya namanya. Ibu ini juga mengatakan betapa nekadnya saya mengambil penerbangan terlalu cepat. Lama-lama obrolan kami panjang hingga si ibu mengajak saya shalat dan kami menitipkan barang-barang kepada salah satu penumpang dengan nomor penerbangan yang sama. Selesai shalat, pintu terbuka dan kami menuju ruang untuk memasuki zone berdasarkan nomor kursi yang akan diduduki saat di pesawat. 
Pesawat penerbangan ke Jakarta aman dengan sedikit goncangan karena cuaca sedikit memburuk. 

Perjalanan ini, membuat saya lagi-lagi percaya bahwa pertolongan Allah melalui orang-orang baik itu dekat dan nyata. Terima kasih ya Allah dan semesta yang berkolaborasi pada kenekatan saya. Mari belajar dari perjalanan. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yuk ke Bendungan Brayen, Aceh Besar

Nita Juniarti AcehNews.net –  Bendungan Brayen merupakan hasil dari ekspresi keindahan alam dengan perbuatan manusia. Bendungan ini berada di Leupung, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh jaraknya sekitar 30 Kilomoter  dari Banda Aceh. Tidak sulit mencarinya, melewati jalur pantai Barat-Selatan, nanti Anda akan menemukan papan bertuliskan  “Wisata Brayen”. Kemudian dari arah pintu masuk tersebut Anda bisa terus berjalan ke lokasi wisata, lebih kurang 100 meter. Ada yang view yang indah saat Anda melintas di jalan masuk tersebut. Jalan lintasan masyarakat kampung yang masih alami ini akan memberi  landscape , sawah tadah hujan dan masyarakat yang berlalu lalang. Jika sedang musim hujan maka harus ekstra hati-hati saat melalui jalan ini. Nita Juniarti-Teman KPM PAR MAheng Biasanya tempat ini dikunjungi oleh keluarga, kaulah muda di hari libur khususnya pukul 15.00 yang paling ramai dikunjungi. Tiket masuknya hanya Rp2.000 per orang dan parkir dengan harga yang sama. Air s

Prasangka

  Meski sudah belajar banyak, meski sudah tau tips ini itu, sungguh tidak mudah bagi seorang perempuan mengatasi perasaannya sendiri, rasanya teramat mustahil baginya setiap kali ia mengalami guncangan perasaan. Jun dan Wi jarang bertengkar, selama LDRan, Dunia yang berada dalam resesi membuat mereka semakin kalut dengan pertahanan masing-masing. Rencana pernikahan harus ditunda, keadaan tidak memungkinkan. Biasanya salah satu dari mereka mengalah agar tidak terjadi pertengkaran hebat, tapi tidak malam itu, mereka sama-sama jenuh.  "Aku capek sekali, berusaha sebisa mungkin  untuk niat baik. Tapi barangkali kau memahaminya berbeda" teriak Jun diseberang sana  "Kalo kau capek : berhentilah" Wi balas berteriak "Cari uang untuk bisa melamarmu siang dan malam, yakinkan Umi, mama, kamu, dan bahkan meyakinkan dirimu juga aku, semuanya harus kulakukan sendiri. Aneh, bukannya kau yang terdengar ingin berhenti" "Dan aku ga pernah ada bersama kau?" "J

Cerita Film : Jembatan Pensil

Film Jembatan pensil. Latar belakang dari film ini adalah suasana di perkampungan suku Muna, Sulawesi Tenggara. Menariknya, film yang mengangkat kisah Ondeng, si anak berkebutuhan khusus tapi selalu setia pada teman-temannya. Empat sekawan itu bernama Inal, Aska, Nia dan Ondeng berjuang mencari pendidikan dari guru mereka di sebuah sekolah gratis. Inal dan Ondeng sama-sama memiliki kekurangan fisik dan mental. Inal adalah anak tuna netra, sedangkan Ondeng terbelakang secara mental. Keterbatasan yang mereka miliki tak pernah sedikitpun melunturkan niat mereka mencari pendidikan. Ondeng, sangat pintar menggambar. Semua dia gambar salah satu gambarnya adalah jembatan yang sering di lewati oleh teman-temannya. Ondeng rajin sekali menabung, sebab jembatan yang teman-temannya lewati sudah sangat rapuh. Ia ingin menganti jembatan itu. Namun, uang Ondeng belum cukup untuk membuat jembatan malah suatu hari jembatan itu  rubuh saat mereka melintas. Ondeng yang rumahnya lebih jauh dan selal