Saya bukan pengguna cadar ini hanya saat itu saja, dimana langit dijunjung di situ bumi dipijak |
Terlibat dengan dunia relawan memang menyenangkan, dapat banyak teman dan banyak pemikiran baru juga. Perjalanan ke ibukota kali ini harus kulanjutkan berkunjung ke tempat adikku, bukan berkunjung sih lebih tepatnya aku menumpang sejenak sebab ada beberapa agenda yang nantinya harus kutuntaskan sebelum kembali ke rumah. Jika sebelumnya suka menangis saat menonton film dokumenter kehidupan pengajar muda, bukan soal betapa susahnya si pengajar muda mengajar di sana tapi betapa baiknya anak-anak di desa, betapa baiknya orang desa, betapa beruntungnya pernah tinggal di situasi seperti itu.
Jalan jelek tapi pemandangan dari atas sini bagus sekali |
Sekarang, aku dihadapkan pada kehidupan adikku, yang menjadi pengajar di pesantren tahfidh nun jauh di puncak dua kota bogor. Jalan yang dihadapinya tidak mudah, tapi dia sangat profesional dalam berkendara, alhamdulillah. Tidak kusangka anak yang dulunya sangat tidak bisa jauh dari ibu sudah bertumbuh, ia sudah banyak berubah.
Jalanan gunung, berbatuan hingga becek tidak terkira, belum lagi terjal, kami tempuh untuk sampai ke pesantren itu. Jika hujan? Aku jadi dibawa pada kenangan jalan ampera atau batui atau jalan ke Rantau dedap namun ini lebih parah karena pegunungan panjang tanpa henti.
Ketika sampai di pesantren, aku disambut baik dan diijinkan menumpang. Pesantren ini sederhana sekali hanya ada murid belasan orang tapi pesantren ini mengartikan biaya pendidikan untuk anak usia SD dan SMP. Niatnya supaya mereka tetap sekolah.
Beberapa hari di pesantren ini, meski jika keluar harus pakai cadar, suasana di sini sangat menyenangkan, adem dan terdengar suara hewan dari berbagai arah. Terlebih jika hujan, lebih banyak lagi suara hewan. Hujan juga berkah, berkah atas bocornya atap.
Pesantren saat pagi berkabut |
Anak-anak yang mengaji di situ berasal dari luar kampung, anak yatim, piatu atau yatim piatu. Tidak ada biaya untuk belajar di sana, gratis. Makan? Seadanya tapi rasanya selalu berkah. Umi dan abi (pengelola pesantren itu) bukan orang sana. Menariknya umi bilang ke saya "anak-anak punya rezeki masing-masing ukh jadi ya kita buka aja dulu tapi gak banyak-banyak paling untuk 10 orang setiap angkatan. Anak-anak harus turun ke bawah untuk sekolah baik SD maupun SMP. Oh iya, di sana juga ada nenek yang memasak untuk anak-anak, beliau seperti umi suka sekali bercerita tentang banyak hal pun petualangan mereka saat ikut transmigrasi di Riau, luar biasa bertemu dengan orang yang masa mudanya juga dia habiskan dengan jalanan hingga sekarang sudah tua mereka menetap.
Mereka, yang bekerja dalam diam tapi Allah tidak meninggalkan mereka. Saya, belajar dari mereka, orang-orang yang bekerja dalam diam, tidak banyak yang tau tapi terus bekerja demi Alquran yang mulia. Semoga Allah melimpahkan segala Ridho-Nya kepada mereka semua. Aamin
Komentar
Posting Komentar