Salah satu Sungai yang dilewati saat ke Loinang |
Pada bulan Juli 2017 lalu, lupa tanggal berapa, ada sebuah perjalanan mengesankan bagi saya. Perjalanan menuju dusun suku Loinang di Desa Maleo Jaya, Kecamatan Batui Selatan Kab. Banggai. Jika dari Luwuk, sekitar 3 jam perjalanan naik motor, lalu memarkirkan motor diseberang sungai, kemudian menyelusuri sungai, hutan belantara, kira-kira 2.5 jam perjalanan.
Menurut info, suku Loinang ini adalah suku Saluan juga. Suku pedalaman di Banggai, suku asli. Pengajar Muda angkatan 13 Banggai bersama relawan lainnya diajak oleh kak Rahmat Aziz, mendatangi suku Loinang. Suku ini menarik untuk dilirik, lebih jauh desanya terletak di Batui 3 tapi menyeberang sungai tanpa jembatan. Setelah sunggai untuk masuk desa harus melewati hutan belantara dengan jalan kaki satu jam. Jika lelah, kami beristirahat sejenak.
15 anak sekolah ke bawah dengan menyeberang sungai untuk mendatangi sekolah. Sungai sedang deras-derasnya saat kami menyeberang, saling bahu membahu untuk sampai ke tujuan. Kami baru sampai di tempat sore hari, saat itu langsung menuju rumah tetua. Bercakap-cakap sejenak, rumahnya cukup unik. Tangga rumah terbuat dari pohon pinang, kak Rahmat menitip pesan.
Sungai pertama, perbatasan dengan Batui 3 |
Menurut info, suku Loinang ini adalah suku Saluan juga. Suku pedalaman di Banggai, suku asli. Pengajar Muda angkatan 13 Banggai bersama relawan lainnya diajak oleh kak Rahmat Aziz, mendatangi suku Loinang. Suku ini menarik untuk dilirik, lebih jauh desanya terletak di Batui 3 tapi menyeberang sungai tanpa jembatan. Setelah sunggai untuk masuk desa harus melewati hutan belantara dengan jalan kaki satu jam. Jika lelah, kami beristirahat sejenak.
15 anak sekolah ke bawah dengan menyeberang sungai untuk mendatangi sekolah. Sungai sedang deras-derasnya saat kami menyeberang, saling bahu membahu untuk sampai ke tujuan. Kami baru sampai di tempat sore hari, saat itu langsung menuju rumah tetua. Bercakap-cakap sejenak, rumahnya cukup unik. Tangga rumah terbuat dari pohon pinang, kak Rahmat menitip pesan.
Setelah beramah tamah, kami turun ke bawah membuat tenda menginap. Malamnya, aktivitas memasak, menjaga api unggun dan membakar ubi serta bermain "kebenaran atau tantangan", saling mengurut sebab kelelahan pun dilakoni.
Saya dan Oppa Nico bertugas memasak nasi |
Esok harinya, kami bertemu anak-anak. Bermain permainan dan berkunjung ke rumah belajar. Sekolah Pelangi Rimba adalah sekolah Binaan kak Andi di desa Batui 3 baru saja diberi nama pada tanggal 16 juli 2017 oleh kak @rahmatazis.
Anak-anak itu adalah anak-anak yang dididik oleh alam, disiram oleh alam, tumbuh bersama alam menjadi kuat karena alam. Mereka adalah pencerah masa depan dari Suku Loinang, pelukis pelangi baru. Mereka adalah anak-anak Sekolah Pelangi Rimba. Mereka tidak menggunakan sandal, kaki mereka berteman dengan bumi. Setelah bermain, kami kembali ke tempat berkemah dan membongkar tenda.
Anak-anak Suku Loinang |
Saat sedang membongkar tenda, seorang anak tergopoh-gopoh dengan kresek hitam ditangannya.
"dari mana dik?" tanya destin
"bawah"
"ba apa di bawa?"
Jlep! Lalu si anak pergi terburu-buru. Yang di maksud bawah adalah desa Batui 3. Sekitar 2 jam perjalanan dengan melewati sungai besar dan anak sungai. Jadi, si adik ke sana? Membeli obat? Aku langsung merasa hina. Betapa sering aku tidak bersyukur dengan hidupku yang kukira paling susah. Padahal, lihatlah suku Loinang, mereka bahagia hidup dengan alam meski harus ke bawah untuk pendidikan dan kesehatan. Ruginya aku, seringnya mengeluh hal-hal dalam hidup. Ruginya aku, sering tidak melihat hal-hal ajaib yang diberikan Tuhan dalam hidupku. Aku akhirnya paham, kenapa Tuhan mengirimku ke Banggai. Aku disuruh belajar peka pada karunia yang mudah dibagi-Nya. Aku disuruh lihat lebih dekat bahwa Tuhan sungguh pemurah pada hamba-Nya. Ia membuat anak-anak tanpa alas kaki itu kuat, kaki mereka kokoh menginjak batu-batu dan semak belukar. Sungguh Tuhan maha penyanyang, maafkan hamba-Mu yang sering ingkar. Melakukan perjalanan, lupa mengambil hikmah hingga jalan pulang sudah diseberang. Diam-diam sebelum pulang, aku menitip doa pada langit Loinang yang cerah "Tuhan, izinkan aku datang kembali ke sini bersama suami dan anak-anakku. Beri kami jalan pulang ke Suku Loinang".
NB : setelah 3 tahun berlalu, tulisan ini baru ditulis meski tidak sesempurna perasaan saat datang ke Loinang, namun ada rasa syukur bahwa Allah maha baik mengirimkanku melakukan perjalanan menarik ditahun-tahun itu.
NB : setelah 3 tahun berlalu, tulisan ini baru ditulis meski tidak sesempurna perasaan saat datang ke Loinang, namun ada rasa syukur bahwa Allah maha baik mengirimkanku melakukan perjalanan menarik ditahun-tahun itu.
Komentar
Posting Komentar