"Aku mencintaimu, aku merindukanmu" ujar lelaki itu serius diujung telepon
Perempuan yang diseberang telepon tertawa, entah apa yang difikirkannya
"apa karena aku lebih muda darimu sehingga kau tidak percaya perkataanku?" ujarnya merasa tersinggung
"bukan itu maksudku, hanya saja seperti yang sudah kita bicarakan aku punya seseorang yang kutunggu dan kau punya seseorang yang sudah lama berjuang denganmu, sejak kau hidup susah"
"entahlah, jujurlah pada hatimu kak. Bukankah kau merasa kesepian saat kekasihmu tidak bersamamu sehingga kau selalu pergi denganku?"
"Itu urusan pekerjaan dan aku selalu mengatakan pergi denganmu bukan kencan. Dia orang baik, sungguh"
"apa kau sangat mencintainya? Kau selalu membelanya yang bisa jadi hanya memberi janji palsu padamu"
"tidak juga, aku hanya setia pada ucapanku"
Telepon ditutup, perempuan itu menarik nafas panjang. Ia berada dipersimpangan yang sulit dijelaskan. Telepon kembali berdering, kekasihnya menelepon. Mereka bertukar kabar hingga kekasihnya mengeluarkan pernyataan.
"kau tau dik, cintaku padamu sejak kukatakan bahwa aku sedang berusaha meminangmu adalah seperti pohon cabai yang kutanam dari biji. Sekarang, pohon itu mulai berbunga namun angin kencang menerpanya, dan bunganya berterbangan tanpa jadi buah"
"apa kesimpulanmu, apakah kau menyerah? Apalagi harga mahar sudah 3 juta seratus pekan ini"
"hahaha, kau memang perempuan realistis, selalu mengigatkan aku bahwa ada hal yang harus kupersiapkan"
"aku masih mendoakanmu dan masih menunggu tapi bisakah kau agak serius soal ini?"
Sejatinya, percakapan mereka tidak ada kemajuan pun hubungan mereka. Lelaki itu bekerja siang malam tanpa memperdulikan apakah ia akan melamar perempuannya atau tidak. Perempuan itu masih menunggu, ia setia pada janjinya. Lelaki muda itu masih dilema harus bagaimana dengan perasaannya. Sesungguhnya, mereka tidak baik-baik saja.
Komentar
Posting Komentar